PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 60 TAHUN 1999
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan
Tinggi.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN TINGGI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih
tinggi daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah.
2. Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
3. Pendidikan akademik adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada penguasaan
ilmu pengetahuan dan pengembangannya.
4. Pendidikan profesional adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada kesiapan
penerapan keahlian tertentu.
5. Dosen adalah tenaga pendidik atau kependidikan pada perguruan tinggi yang khusus
diangkat dengan tugas utama mengajar.
6. Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu.
7. Statuta adalah pedoman dasar penyelenggaraan kegiatan yang dipakai sebagai acuan
untuk merencanakan, mengembangkan program dan penyelenggaraan kegiatan fungsional
sesuai dengan tujuan perguruan tinggi yang bersangkutan, yang berisi dasar yang dipakai
sebagai rujukan pengembangan peraturan umum, peraturan akademik dan prosedur
operasional yang berlaku di perguruan tinggi yang bersangkutan.
8. Pimpinan perguruan tinggi adalah Rektor untuk universitas/ institut, Ketua untuk sekolah
tinggi, dan Direktur untuk politeknik/akademi.
9. Penyelenggara perguruan tinggi adalah Departemen, departemen lain, atau pimpinan
lembaga Pemerintah lain bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, atau
badan penyelenggara perguruan tinggi swasta bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan
oleh masyarakat.
10. Sivitas akademika adalah satuan yang terdiri atas dosen dan mahasiswa pada perguruan
tinggi.
11. Departemen adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan nasional.
13. Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah adalah pejabat yang bertanggung jawab
atas penyelenggaraan satuan pendidikan tinggi di luar lingkungan Departemen.
BAB II
TUJUAN PENDIDIKAN TINGGI
Pasal 2
(1) Tujuan pendidikan tinggi adalah:
a. menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;
b. mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan
masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
(2) Penyelenggaraan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berpedoman pada:
a. tujuan pendidikan nasional;
b. kaidah, moral dan etika ilmu pengetahuan;
c. kepentingan masyarakat; serta
d. memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa pribadi.
BAB III
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI
Pasal 3
(1) Perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan tinggi dan penelitian serta pengabdian
kepada masyarakat.
(2) Pendidikan tinggi merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Penelitian merupakan kegiatan telaah taat kaidah dalam upaya untuk menemukan
kebenaran dan/atau menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau
kesenian.
(4) Pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan yang memanfaatkan ilmu
pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.
Pasal 4
(1) Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
(2) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
(3) Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan
ilmu pengetahuan.
(4) Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan
penerapan keahlian tertentu.
Pasal 5
(1) Pendidikan akademik terdiri atas Program Sarjana dan Program Pasca Sarjana.
(2) Program Pasca Sarjana meliputi Program Magister dan Program Doktor.
(3) Pendidikan profesional terdiri atas Program Diploma I, Diploma II, Diploma III, dan Diploma
IV.
(4) Pendidikan akademik dan pendidikan profesional diselenggarakan dengan cara tatap muka
dan/atau jarak jauh.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) diatur oleh Menteri.
Pasal 6
(1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi, yang
dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas.
(2) Akademi menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam satu cabang atau
sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu.
(3) Politeknik menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam sejumlah bidang
pengetahuan khusus.
(4) Sekolah tinggi menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam
lingkup satu disiplin ilmu tertentu.
(5) Institut menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/ atau profesional dalam
sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian yang sejenis.
sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
Pasal 7
(1) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar.
(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam
penyampaian pengetahuan dan/atau pelatihan dan/atau keterampilan bahasa daerah yang
bersangkutan.
(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam
penyampaian pengetahuan dan/atau pelatihan dan/atau keterampilan.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 8
(1) Tahun akademik penyelenggaraan pendidikan tinggi dimulai pada bulan September.
(2) Tahun akademik dibagi dalam minimum 2 (dua) semester yang masing-masing terdiri atas
minimum 16 Minggu.
(3) Pada akhir penyelenggaraan program pendidikan akademik dan/ atau pendidikan
profesional diadakan wisuda.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
oleh pimpinan masing-masing perguruan tinggi.
Pasal 9
(1) Administrasi akademik pendidikan tinggi diselenggarakan dengan menerapkan sistem kredit
semester.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 10
(1) Pendidikan tinggi diselenggarakan melalui proses pembelajaran yang mengembangkan
kemampuan belajar mandiri.
(2) Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dapat dilakukan kuliah, seminar, simposium,
diskusi panel, lokakarya, praktika dan kegiatan ilmiah lain.
Pasal 11
(1) Perguruan tinggi mengatur dan menyelenggarakan seleksi penerimaan mahasiswa baru.
(2) Penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi diselenggarakan dengan tidak
membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan
ekonomi, dan dilakukan dengan tetap memperhatikan kekhususan perguruan tinggi yang
bersangkutan.
(3) Warga negara asing dapat menjadi mahasiswa di perguruan tinggi.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh
pimpinan masing-masing perguruan tinggi, dan pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 12
Pendidikan tinggi dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang diadakan oleh Pemerintah,
dalam hal ini Departemen atau departemen lain atau lembaga Pemerintah lain, atau oleh satuan
pendidikan yang diadakan oleh masyarakat.
BAB IV
KURIKULUM
Pasal 13
(1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan dalam program-program studi atas dasar
kurikulum yang disusun oleh masing-masing perguruan tinggi.
(2) Kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada kurikulum yang berlaku
secara nasional.
(3) Kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri.
Pasal 14
Beban studi dan masa studi untuk menyelesaikan setiap program studi pendidikan tinggi diatur
oleh Menteri.
BAB V
PENILAIAN HASIL BELAJAR
Pasal 15
(1) Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar mahasiswa dilakukan penilaian secara berkala
yang dapat berbentuk ujian, pelaksanaan tugas, dan pengamatan.
(2) Ujian dapat diselenggarakan melalui ujian semester, ujian akhir program studi, ujian skripsi,
ujian tesis, dan ujian disertasi.
(3) Dalam bidang-bidang tertentu penilaian hasil belajar untuk Program Sarjana dapat
dilaksanakan tanpa ujian skripsi.
(4) Penilaian hasil belajar dinyatakan dengan huruf A, B, C, D, dan E yang masing-masing
bernilai 4, 3, 2, 1 dan 0.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh senat
masing-masing perguruan tinggi.
Pasal 16
(1) Ujian akhir program studi suatu program sarjana dapat terdiri atas ujian komprehensif atau
ujian karya tulis, atau ujian skripsi.
(2) Ujian tesis diadakan dalam rangka penilaian hasil belajar pada akhir studi untuk memperoleh
gelar Magister.
(3) Ujian disertasi diadakan dalam rangka penilaian hasil belajar pada akhir studi untuk
memperoleh gelar Doktor.
BAB VI
KEBEBASAN AKADEMIK DAN OTONOMI KEILMUAN
Pasal 17
(1) Kebebasan akademik termasuk kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan
merupakan kebebasan yang dimiliki anggota sivitas akademika untuk melaksanakan
kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara bertanggung jawab dan mandiri.
(2) Pimpinan perguruan tinggi mengupayakan dan menjamin agar setiap anggota sivitas
akademika dapat melaksanakan kebebasan akademik dalam rangka pelaksanaan tugas dan
fungsinya secara mandiri sesuai dengan aspirasi pribadi dan dilandasi oleh norma dan
kaidah keilmuan.
(3) Dalam melaksanakan kegiatan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap
anggota sivitas akademika harus mengupayakan agar kegiatan serta hasilnya meningkatkan
pelaksanaan kegiatan akademik perguruan tinggi yang bersangkutan.
(4) Dalam melaksanakan kebebasan akademik setiap anggota sivitas akademika harus
bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan dan hasilnya sesuai dengan norma dan
kaidah keilmuan.
(5) Dalam melaksanakan kegiatan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan
perguruan tinggi dapat mengijinkan penggunaan sumber daya perguruan tinggi, sepanjang
kegiatan tersebut tidak ditujukan untuk merugikan pribadi lain semata-mata untuk
memperoleh keuntungan materi bagi pribadi yang melakukannya.
Pasal 18
(1) Kebebasan mimbar akademik berlaku sebagai bagian dari kebebasan akademik yang
memungkinkan dosen menyampaikan pikiran dan pendapat secara bebas di perguruan
tinggi yang bersangkutan sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan.
(2) Perguruan tinggi dapat mengundang tenaga ahli dari luar perguruan tinggi yang
bersangkutan untuk menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan norma dan kaidah
keilmuan dalam rangka pelaksanaan kebebasan akademik.
Pasal 19
(1) Pelaksanaan kebebasan akademik diarahkan untuk memantapkan terwujudnya
pengembangan diri sivitas akademika, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
(2) Dalam merumuskan pengaturan pelaksanaan kebebasan akademik senat perguruan tinggi
harus berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 20
(1) Dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perguruan tinggi dan sivitas
akademika berpedoman pada otonomi keilmuan.
(2) Perwujudan otonomi keilmuan pada perguruan tinggi diatur dan dikelola oleh senat
perguruan tinggi yang bersangkutan.
BAB VII
GELAR DAN SEBUTAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI
Pasal 21
(1) Lulusan pendidikan akademik dapat diberikan hak untuk menggunakan gelar akademik.
(2) Lulusan pendidikan profesional dapat diberikan hak untuk menggunakan sebutan
profesional.
(3) Gelar akademik adalah Sarjana, Magister, dan Doktor.
Pasal 22
(1) Gelar akademik Sarjana dan Magister ditempatkan di belakang nama pemilik hak atas
penggunaan gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf S. Untuk Sarjana dan
huruf M. untuk Magister disertai singkatan nama kelompok bidang ilmu.
(2) Gelar akademik Doktor ditempatkan di depan nama pemilik hak atas penggunaan gelar yang
bersangkutan dengan mencantumkan huruf Dr.
(3) Sebutan profesional Ahli Pratama bagi lulusan Program Diploma I, Ahli Muda bagi lulusan
Program Diploma II, Ahli Madya bagi lulusan Program Diploma III dan Sarjana Sains
Terapan bagi lulusan Program Diploma IV ditempatkan di belakang nama pemilik hak atas
penggunaan sebutan yang bersangkutan.
(4) Jenis gelar dan sebutan, singkatan dan penggunaannya sebagaimana dimaksudkan pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 23
(1) Gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi luar negeri tetap memakai pola dan cara
pemakaian yang berlaku di negara asal.
(2) Gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi luar negeri tidak dibenarkan untuk
disesuaikan/diterjemahkan menjadi gelar atau sebutan lulusan perguruan tinggi di Indonesia.
(3) Gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak dibenarkan untuk
disesuaikan/diterjemahkan menjadi gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi di luar
negeri.
Pasal 24
Syarat pemberian gelar akademik atau sebutan profesional meliputi:
a. penyelesaian semua kewajiban pendidikan akademik dan/ atau profesional yang harus
dipenuhi dalam mengikuti suatu program studi;
b. penyelesaian semua kewajiban administrasi dan keuangan berkenaan dengan program
studi yang diikuti.
Pasal 25
(1) Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dapat diberikan kepada seseorang yang
telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan
atau kemanusiaan.
(2) Pemberian gelar Doktor Kehormatan diusulkan oleh senat fakultas dan dikukuhkan oleh
senat universitas/institut.
(3) Gelar Doktor Kehormatan hanya dapat diberikan oleh universitas/institut yang memiliki
wewenang menyelenggarakan program pendidikan Doktor.
(4) Prosedur pengusulan, pemberian, dan penggunaan gelar Doktor Kehormatan diatur oleh
Menteri.
Pasal 26
Gelar akademik atau sebutan profesional yang diperoleh secara sah tidak dapat dicabut atau
ditiadakan.
BAB VIII
SUSUNAN PERGURUAN TINGGI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 27
Perguruan tinggi terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:
a. dewan penyantun;
b. unsur pimpinan;
c. unsur tenaga pengajar para dosen;
d. senat perguruan tinggi;
e. unsur pelaksana akademik:
1) bidang pendidikan;
2) bidang penelitian;
3) bidang pengabdian kepada masyarakat;
f. unsur pelaksana administratif;
g. unsur penunjang untuk pelaksana yang meliputi:
1) perpustakaan;
2) laboratorium;
3) bengkel;
4) kebun percobaan;
5) pusat komputer;
6) bentuk lain yang dianggap perlu untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan
akademik dan/atau profesional pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 28
(1) Dewan penyantun yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat diadakan untuk ikut mengasuh
dan membantu memecahkan permasalahan perguruan tinggi yang bersangkutan.
(2) Anggota dewan penyantun diangkat oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.
(3) Pengurus dewan penyantun dipilih oleh dan di antara para anggota dewan penyantun.
Pasal 29
(1) Pimpinan perguruan tinggi sebagai penanggung jawab utama pada perguruan tinggi,
disamping melakukan arahan serta kebijaksanaan umum, juga menetapkan peraturan,
norma dan tolok ukur penyelenggaraan pendidikan tinggi atas dasar keputusan senat
perguruan tinggi.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. di bidang akademik, pimpinan perguruan tinggi bertanggung jawab kepada Menteri;
b. di bidang administrasi dan keuangan, pimpinan perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah bertanggung jawab kepada Menteri, Menteri lain
atau pimpinan lembaga Pemerintah lain, sedangkan pimpinan perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat bertanggung jawab kepada badan yang
menyelenggarakan perguruan tinggi yang bersangkutan.
(3) Pimpinan perguruan tinggi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh:
a. Pembantu Rektor untuk universitas/institut;
b. Pembantu Ketua untuk sekolah tinggi;
c. Pembantu Direktur untuk politeknik/akademik.
Pasal 30
(1) Senat perguruan tinggi merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi pada perguruan
tinggi yang bersangkutan.
(2) Senat perguruan tinggi mempunyai tugas pokok:
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan perguruan tinggi;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian
sivitas akademika;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan pendidikan tinggi;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja perguruan tinggi yang diajukan oleh pimpinan perguruan tinggi;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan perguruan tinggi dan pelaksanaan kebijakan
yang telah ditetapkan;
f. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan pada perguruan tinggi yang bersangkutan;
g. memberikan pertimbangan kepada penyelenggara perguruan tinggi berkenaan
dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Rektor/Ketua/Direktur
perguruan tinggi dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas
lektor;
h. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika; dan i. mengukuhkan
pemberian gelar Doktor Kehormatan pada universitas/institut yang memenuhi
persyaratan.
(3) Senat perguruan tinggi terdiri atas guru besar, pimpinan perguruan tinggi, dekan, dan wakil
dosen.
(4) Senat perguruan tinggi diketuai oleh Rektor/Ketua/Direktur, didampingi oleh seorang
Sekretaris yang dipilih di antara anggota.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, senat perguruan tinggi dapat membentuk komisi-komisi
yang beranggotakan anggota senat perguruan tinggi dan bila dianggap perlu ditambah
anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat perguruan tinggi diatur dalam statuta
perguruan tinggi yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta perguruan tinggi ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan di semua
jenjang struktur organisasi perguruan tinggi ditetapkan oleh senat perguruan tinggi.
Pasal 31
(1) Pelaksana akademik di bidang pendidikan dapat berbentuk fakultas, jurusan, atau
laboratorium.
(2) Fakultas mengkoordinasi dan/atau melaksanakan pendidikan akademik dan/atau profesional
dalam satu atau seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian
tertentu.
(3) Jurusan melaksanakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu atau
seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
(4) Laboratorium/studio menunjang pelaksanaan pendidikan pada jurusan dalam pendidikan
akademik dan/atau profesional.
Pasal 32
(1) Pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik diselenggarakan
penelitian sebagai bagian dari kegiatan akademik.
(2) Pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional dapat
diselenggarakan penelitian sebagai bagian dari program kegiatan pendidikannya.
(3) Kegiatan penelitian pada satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan di laboratorium, jurusan, fakultas atau pusat penelitian.
(4) Penelitian yang bersifat antar-bidang, lintas-bidang dan/atau multi-bidang dapat
diselenggarakan di pusat penelitian.
Pasal 33
(1) Satuan pelaksana administratif pada perguruan tinggi menyelenggarakan pelayanan teknis
dan administratif yang meliputi administrasi akademik, administrasi keuangan, administrasi
umum, administrasi kemahasiswaan, administrasi perencanaan dan sistem informasi.
(2) Pimpinan satuan pelaksana administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
oleh dan bertanggung jawab langsung kepada pimpinan perguruan tinggi yang
bersangkutan.
Pasal 34
(1) Unsur penunjang pada perguruan tinggi merupakan perangkat pelengkap di bidang
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang ada di luar fakultas,
jurusan, dan laboratorium.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas perpustakaan,
pusat komputer, laboratorium, kebun percobaan, bengkel, dan bentuk lain yang dianggap
perlu untuk menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional di perguruan
tinggi yang bersangkutan.
(3) Pimpinan unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh dan
bertanggung jawab langsung kepada pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Universitas dan Institut
Pasal 35
Organisasi universitas/institut terdiri atas:
a. unsur pimpinan: Rektor dan Pembantu Rektor;
b. senat universitas/institut;
c. unsur pelaksana akademik: fakultas, lembaga penelitian, dan lembaga pengabdian kepada
masyarakat;
d. unsur pelaksana administrasi: biro;
e. unsur penunjang: unit pelaksana teknis;
f. unsur lain yang dianggap perlu.
Pasal 36
Universitas/Institut dipimpin oleh seorang Rektor dan dibantu oleh Pembantu Rektor yang terdiri
atas Pembantu Rektor bidang Akademik, Pembantu Rektor bidang Administrasi Umum, dan
Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan.
Pasal 37
(1) Rektor memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi
universitas/institut serta hubungan dengan lingkungannya.
(2) Bilamana Rektor berhalangan tidak tetap, Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan
akademik bertindak sebagai Pelaksana Harian Rektor.
(3) Bilamana Rektor berhalangan tetap, penyelenggara perguruan tinggi mengangkat Pejabat
Rektor sebelum diangkat Rektor tetap yang baru.
Pasal 38
(1) Pembantu Rektor bertanggung jawab langsung kepada Rektor universitas/institut yang
bersangkutan.
(2) Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan akademik membantu Rektor dalam memimpin
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan administrasi umum membantu Rektor dalam
memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan, dan administrasi umum.
(4) Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan kemahasiswaan membantu Rektor dalam
pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan, serta pelayanan kesejahteraan mahasiswa.
Pasal 39
(1) Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain
setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut yang bersangkutan.
(2) Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan
diberhentikan oleh badan penyelenggara universitas/institut yang bersangkutan setelah
mendapat pertimbangan senat universitas/institut.
(3) Apabila rektor universitas/institut yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau
proses pengangkatan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, Menteri bisa meminta badan
penyelenggara universitas/institut untuk mengulang proses pengangkatan.
(4) Pimpinan dan anggota badan penyelenggara universitas/institut yang diselenggarakan oleh
masyarakat tidak dibenarkan menjadi pimpinan universitas/institut yang bersangkutan.
(5) Pembantu Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan
diberhentikan oleh Rektor setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut .
(6) Pembantu Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan
diberhentikan oleh Rektor setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut dan
pertimbangan badan penyelenggara universitas/institut.
Pasal 40
(1) Masa jabatan Rektor dan Pembantu Rektor adalah 4 (empat) tahun.
(2) Rektor dan Pembantu Rektor dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak boleh lebih
dari dua kali masa jabatan berturut-turut.
Pasal 41
(1) Senat universitas/institut merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi di
universitas/institut yang bersangkutan.
(2) Senat universitas/institut mempunyai tugas pokok:
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan universitas/institut;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian
sivitas akademi;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan pendidikan tinggi;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja universitas/institut yang diajukan oleh pimpinan universitas/institut;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan universitas/institut atas pelaksanaan kebijakan
yang telah ditetapkan;
f. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan pada universitas/institut yang bersangkutan;
g. memberikan pertimbangan kepada penyelenggara universitas/institut berkenaan
dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Rektor universitas/institut
dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas lektor;
h. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika; dan
i. mengukuhkan pemberian gelar Doktor Kehormatan pada universitas/institut yang
memenuhi persyaratan.
(3) Senat universitas/institut terdiri atas para guru besar, pimpinan universitas/institut, para
Dekan, wakil dosen, dan unsur lain yang ditetapkan senat.
(4) Senat universitas/institut diketuai oleh Rektor, didampingi oleh seorang Sekretaris yang
dipilih diantara para anggota senat universitas/institut.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, senat universitas/institut dapat membentuk komisi-komisi
yang beranggotakan anggota senat universitas/institut dan bila dianggap perlu ditambah
anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat universitas/ institut diatur dalam statuta
universitas/institut yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta universitas/institut ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan di semua
jenjang struktur organisasi universitas/institut ditetapkan oleh senat universitas/institut.
Pasal 42
(1) Pusat penelitian merupakan unsur pelaksana di lingkungan perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan akademik untuk melaksanakan kegiatan penelitian/pengkajian.
(2) Pusat penelitian dibentuk sesuai dengan keperluan penelitian dan kemampuan, terutama
sumber daya manusia.
(3) Pusat penelitian terdiri atas pimpinan, tenaga peneliti dan tenaga administrasi.
(4) Pimpinan pusat penelitian bertanggung jawab kepada pimpinan lembaga penelitian, atau
kepada Rektor universitas/ institut bilamana tidak terdapat lembaga penelitian.
Pasal 43
(1) Lembaga penelitian merupakan unsur pelaksana di lingkungan perguruan tinggi yang
mengkoordinasi, memantau, dan menilai pelaksanaan kegiatan penelitian yang
diselenggarakan oleh pusat penelitian serta ikut mengusahakan serta mengendalikan
administrasi sumber daya yang diperlukan.
(2) Lembaga penelitian dapat dibentuk oleh universitas/institut apabila terdapat sekurangkurangnya
empat pusat penelitian di perguruan yang bersangkutan.
(3) Lembaga penelitian terdiri atas pimpinan, tenaga ahli, dan tenaga administrasi.
(4) Pimpinan lembaga penelitian diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Rektor.
Pasal 44
(1) Pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan oleh perguruan tinggi melalui lembaga
pengabdian kepada masyarakat, fakultas, pusat penelitian, jurusan, laboratorium, kelompok
dan perorangan.
(2) Lembaga pengabdian kepada masyarakat merupakan unsur pelaksana di lingkungan
perguruan tinggi untuk menyelenggarakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dan ikut
mengusahakan sumber daya yang diperlukan mengusahakan serta mengendalikan
administrasi sumber daya yang diperlukan.
(3) Lembaga pengabdian kepada masyarakat dapat dibentuk oleh universitas/institut sesuai
dengan keperluan dan kemampuan perguruan tinggi yang bersangkutan.
(4) Lembaga pengabdian kepada masyarakat terdiri atas pimpinan, tenaga ahli dan tenaga
administrasi.
(5) Pimpinan lembaga pengabdian kepada masyarakat diangkat oleh dan bertanggung jawab
kepada Rektor.
Pasal 45
Organisasi fakultas terdiri dari:
a. unsur pimpinan: Dekan dan Pembantu Dekan;
b. senat fakultas;
c. unsur pelaksana akademik: jurusan, laboratorium, dan kelompok dosen;
d. unsur pelaksana administratif: bagian tata-usaha.
Pasal 46
(1) Fakultas dipimpin oleh Dekan dan dibantu oleh Pembantu Dekan, yang pada dasarnya
terdiri atas Pembantu Dekan bidang Akademik, Pembantu Dekan bidang Administrasi
Umum dan Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan.
(2) Dekan memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi dan
administrasi fakultas, serta bertanggung jawab kepada Rektor.
(3) Pembantu Dekan bertanggung jawab kepada Dekan.
Pasal 47
(1) Masa jabatan Dekan dan Pembantu Dekan adalah 4 (empat) tahun.
(2) Dekan dan Pembantu Dekan dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak lebih dari dua
kali masa jabatan berturut-turut.
Pasal 48
(1) Dekan Fakultas yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh
Rektor setelah mendapat pertimbangan senat fakultas yang bersangkutan.
(2) Dekan fakultas yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh
Rektor setelah mendapat pertimbangan senat fakultas yang bersangkutan melalui prosedur
yang dimuat dalam statuta universitas/institut yang bersangkutan.
(3) Pembantu Dekan fakultas yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan
diberhentikan oleh Rektor atas usul Dekan fakultas yang bersangkutan.
(4) Pembantu Dekan fakultas yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan
diberhentikan oleh Rektor atas usul Dekan fakultas yang dimuat dalam statuta
universitas/institut yang bersangkutan.
Pasal 49
(1) Senat fakultas merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi di lingkungan fakultas
yang memiliki wewenang untuk menjabarkan kebijakan dan peraturan universitas/ institut
untuk fakultas yang bersangkutan.
(2) Tugas pokok senat fakultas adalah:
a. merumuskan kebijakan akademik fakultas;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian
dosen;
c. merumuskan norma dan tolok ukur pelaksanaan penyelenggaraan fakultas;
d. menilai pertanggungjawaban pimpinan fakultas atas pelaksanaan kebijakan akademik
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e. memberikan pertimbangan kepada pimpinan universitas/ institut mengenai calon yang
diusulkan untuk diangkat menjadi pimpinan fakultas.
(3) Senat fakultas terdiri atas guru besar, pimpinan fakultas, ketua jurusan atau ketua bagian
dan wakil dosen.
(4) Senat fakultas diketuai oleh Dekan yang dibantu oleh seorang sekretaris senat yang dipilih
di antara anggotanya.
Pasal 50
(1) Jurusan merupakan unit pelaksana akademik yang melaksanakan pendidikan akademik
dan/atau profesional dan bila memenuhi syarat dapat melaksanakan pendidikan program
pasca sarjana dalam sebagian atau satu cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian tertentu.
(2) Dalam jurusan dapat dibentuk laboratorium dan/atau studio.
(3) Jurusan terdiri atas:
a. unsur pimpinan: Ketua dan Sekretaris jurusan;
b. unsur pelaksana akademik: para dosen.
(4) Jurusan dipimpin oleh Ketua yang dibantu oleh Sekretaris.
(5) Ketua jurusan bertanggung jawab kepada Dekan fakultas yang membawahinya.
(6) Ketua dan Sekretaris jurusan diangkat untuk masa 4 (empat) tahun dan dapat diangkat
kembali.
(7) Bilamana jurusan mempunyai laboratorium dan/atau studio, satuan pelaksana tersebut
dipimpin oleh seorang Kepala.
(8) Ketua dan Sekretaris jurusan serta Ketua laboratorium/studio diangkat dan diberhentikan
oleh Rektor atas usul Dekan setelah mendapat pertimbangan senat fakultas.
Pasal 51
Laboratorium/studio dipimpin oleh seorang dosen yang keahliannya telah memenuhi persyaratan
sesuai dengan cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu dan bertanggung
jawab kepada Ketua jurusan.
Pasal 52
(1) Penyelenggaraan program studi dipimpin oleh Ketua program studi atau Ketua jurusan.
(2) Ketua program studi bertanggung jawab kepada pimpinan satuan pelaksana akademik yang
membawahinya.
(3) Ketua program studi diangkat oleh Rektor atas usul pimpinan satuan pelaksana akademik
yang membawahinya.
(4) Masa jabatan Ketua program studi adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.
Pasal 53
(1) Pada jurusan yang memenuhi syarat dapat diselenggarakan program studi Pasca Sarjana.
(2) Syarat penyelenggaraan program studi Pasca Sarjana diatur oleh Menteri.
Pasal 54
(1) Pada universitas/institut yang menyelenggarakan program studi Pasca Sarjana dapat
diangkat seorang Direktur Program Pasca Sarjana.
(2) Direktur Program Pasca Sarjana diangkat dan diberhentikan oleh Rektor setelah mendapat
pertimbangan senat universitas/ institut.
(3) Direktur Program Pasca Sarjana bertanggung jawab kepada Rektor.
(4) Direktur Program Pasca Sarjana diangkat untuk masa 4 (empat) tahun dan dapat diangkat
kembali dengan ketentuan tidak lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.
(5) Direktur Program Pasca Sarjana mengkoordinasikan semua program studi Pasca Sarjana
untuk menjamin baku mutu pendidikan.
(6) Program studi Pasca Sarjana yang bersifat lintas jurusan dapat diletakkan di bawah
tanggung jawab Direktur Program Pasca Sarjana.
Pasal 55
(1) Satuan pelaksana yang menyelenggarakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) pada universitas/ institut berbentuk biro.
(2) Biro dipimpin oleh Kepala Biro yang bertanggung jawab kepada Rektor.
(3) Biro dapat terdiri atas:
a. biro administrasi akademik;
b. biro administrasi keuangan;
c. biro administrasi umum;
d. biro administrasi kemahasiswaan;
e. biro administrasi perencanaan dan sistem informasi.
Pasal 56
(1) Setiap universitas/institut harus memiliki perpustakaan, pusat komputer, laboratorium/studio,
dan unsur penunjang lain yang diperlukan untuk penyelenggaraan perguruan tinggi.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 yang berbentuk unit pelaksana
teknis dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh dan yang bertanggung jawab
kepada Rektor.
Pasal 57
(1) Pendidikan tinggi yang diselenggarakan dengan cara jarak jauh dapat dilaksanakan oleh
perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan dan setelah mendapat persetujuan Menteri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Sekolah Tinggi
Pasal 58
(1) Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional
dan/atau program pendidikan akademik.
(2) Persyaratan sekolah tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 59
Organisasi sekolah tinggi terdiri atas:
a. unsur pimpinan: Ketua dan Pembantu Ketua;
b. senat sekolah tinggi;
c. unsur pelaksana akademik: jurusan, pusat penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
laboratorium/studio dan kelompok dosen;
d. unsur pelaksana administratif: bagian;
e. unsur penunjang: unit pelaksana teknis;
f. unsur lain yang dianggap perlu.
Pasal 60
Sekolah tinggi dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu oleh Pembantu Ketua yang terdiri atas
Pembantu Ketua bidang Akademik, Pembantu Ketua bidang Administrasi Umum, dan Pembantu
Ketua bidang Kemahasiswaan.
Pasal 61
(1) Ketua memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat,
membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi, dan administrasi sekolah
tinggi serta hubungan dengan lingkungannya.
(2) Bilamana Ketua berhalangan tidak tetap, Pembantu Ketua bidang Akademik bertindak
sebagai Pelaksana Harian Ketua.
(3) Bilamana Ketua berhalangan tetap, penyelenggara perguruan tinggi mengangkat Pejabat
Ketua sebelum diangkat Ketua yang baru.
Pasal 62
(1) Pembantu Ketua bertanggung jawab langsung kepada Ketua.
(2) Pembantu Ketua bidang Akademik membantu Ketua dalam memimpin pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Pembantu Ketua bidang Administrasi Umum membantu Ketua dalam memimpin
pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan, dan administrasi umum.
(4) Pembantu Ketua bidang Kemahasiswaan membantu Ketua dalam memimpin pelaksanaan
kegiatan pembinaan mahasiswa, dan pelayanan kesejahteraan mahasiswa.
Pasal 63
(1) Ketua sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain setelah mendapat
pertimbangan senat sekolah tinggi yang bersangkutan.
(2) Ketua sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan
oleh badan penyelenggara sekolah tinggi setelah mendapat pertimbangan senat sekolah
tinggi dan dilaporkan kepada Menteri.
(3) Apabila Ketua yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, Menteri bisa meminta badan penyelenggara
sekolah tinggi untuk mengulang proses pengangkatan.
(4) Pembantu ketua sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua setelah mendapat pertimbangan senat sekolah tinggi.
(5) Pembantu ketua sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua setelah mendapatkan pertimbangan senat sekolah tinggi dan
badan penyelenggara sekolah tinggi.
(6) Pimpinan dan anggota badan penyelenggara sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat tidak dibenarkan menjadi pimpinan sekolah tinggi yang bersangkutan.
Pasal 64
(1) Masa jabatan Ketua dan Pembantu Ketua adalah 4 (empat) tahun.
(2) Ketua dan Pembantu Ketua dapat diangkat dengan ketentuan tidak boleh lebih dari dua kali
masa jabatan berturut-turut.
Pasal 65
(1) Senat sekolah tinggi merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi di sekolah tinggi
yang bersangkutan.
(2) Senat sekolah tinggi mempunyai tugas pokok sebagai berikut:
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan sekolah tinggi;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan pengembangan kecakapan
serta kepribadian sivitas akademika;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan sekolah tinggi;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja sekolah tinggi yang diajukan oleh pimpinan sekolah tinggi;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan sekolah tinggi atas pelaksanaan kebijakan
yang telah ditetapkan;
f. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan pada sekolah tinggi yang bersangkutan;
g. memberikan pertimbangan kepada penyelenggara perguruan tinggi berkenaan
dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Ketua sekolah tinggi yang
bersangkutan dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas lektor;
dan
h. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika.
(3) Senat sekolah tinggi terdiri atas para Guru Besar, Ketua, Pembantu Ketua, Ketua jurusan,
wakil dosen, dan unsur lain yang ditetapkan senat.
(4) Senat sekolah tinggi dipimpin oleh Ketua, yang dibantu oleh Sekretaris Senat sekolah tinggi
yang dipilih di antara anggota.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, senat sekolah tinggi dapat membentuk komisi-komisi yang
beranggotakan anggota senat sekolah tinggi dan bila dianggap perlu ditambah anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat sekolah tinggi diatur dalam statuta
sekolah tinggi yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta sekolah tinggi ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan di semua
jenjang struktur organisasi sekolah tinggi ditetapkan oleh senat sekolah tinggi.
Pasal 66
(1) Jurusan merupakan unsur pelaksana akademik yang melaksanakan pendidikan profesional
dan bila memenuhi syarat dapat melaksanakan pendidikan akademik program sarjana
dan/atau program pasca sarjana, dalam sebagian atau satu cabang ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau kesenian.
(2) Dalam jurusan dapat dibentuk laboratorium dan/atau studio.
(3) Jurusan terdiri atas:
a. unsur pimpinan: Ketua dan Sekretaris jurusan;
b. unsur pelaksana: para dosen.
(4) Jurusan dipimpin oleh Ketua Jurusan yang dibantu oleh Sekretaris.
(5) Ketua Jurusan bertanggung jawab kepada Ketua.
(6) Ketua dan Sekretaris jurusan diangkat untuk masa jabatan 4 (empat ) tahun dan dapat
diangkat kembali.
(7) Bilamana jurusan mempunyai laboratorium dan/atau studio, satuan pelaksana tersebut
dipimpin oleh seorang Kepala.
(8) Ketua dan Sekretaris jurusan serta Ketua laboratorium/studio diangkat dan diberhentikan
oleh Ketua setelah mendapat pertimbangan senat sekolah tinggi.
Pasal 67
Laboratorium/studio dipimpin oleh seorang dosen yang keahliannya telah memenuhi persyaratan
sesuai dengan cabang ilmu, teknologi, dan/atau kesenian tertentu dan bertanggung jawab kepada
Ketua jurusan.
Pasal 68
(1) Penyelenggaraan program studi dipimpin oleh Ketua program studi atau Ketua jurusan.
(2) Ketua program studi bertanggung jawab kepada pimpinan satuan pelaksana akademik yang
membawahinya.
(3) Ketua program studi diangkat oleh Ketua atas usul pimpinan satuan pelaksana akademik
yang membawahinya.
(4) Masa jabatan Ketua program studi adalah 4 (empat) tahun dan Ketua program studi tersebut
dapat diangkat kembali.
Pasal 69
(1) Pada jurusan yang memenuhi syarat dapat diselenggarakan program studi Pasca Sarjana.
(2) Syarat penyelenggaraan program studi Pasca Sarjana diatur oleh Menteri.
Pasal 70
(1) Pada sekolah tinggi yang menyelenggarakan program studi Pasca Sarjana dapat diangkat
seorang Direktur Program Pasca Sarjana.
(2) Direktur Program Pasca Sarjana diangkat dan diberhentikan oleh Ketua setelah mendapat
pertimbangan senat sekolah tinggi.
(3) Direktur Program Pasca Sarjana bertanggung jawab kepada Ketua.
(4) Direktur Program Pasca Sarjana diangkat untuk masa 4 (empat) tahun dan dapat diangkat
kembali dengan ketentuan tidak lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.
(5) Direktur Program Pasca Sarjana mengkoordinasikan semua program studi Pasca Sarjana
dalam menjamin baku mutu pendidikan.
(6) Program studi Pasca Sarjana yang bersifat lintas jurusan dapat diletakkan di bawah
tanggung jawab Direktur Program Pasca Sarjana.
Pasal 71
(1) Pelaksana administrasi pada sekolah tinggi terdiri atas Bagian Administrasi Akademik dan
Kemahasiswaan serta Bagian Administrasi Umum.
(2) Unsur pelaksana administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang
Kepala yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Ketua.
Pasal 72
(1) Unsur penunjang pada sekolah tinggi yang dapat berbentuk unit pelaksana teknis terdiri
atas: perpustakaan, pusat komputer, laboratorium dan unsur penunjang lain yang diperlukan
untuk penyelenggaraan sekolah tinggi.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang
diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Ketua.
Bagian Keempat
Politeknik
Pasal 73
(1) Politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional.
(2) Persyaratan penyelenggaraan pendidikan pada politeknik diatur oleh Menteri.
Pasal 74
Organisasi politeknik terdiri atas:
1. unsur pimpinan: Direktur dan Pembantu Direktur;
2. senat politeknik;
3. unsur pelaksana akademik: jurusan, laboratorium/studio, kelompok dosen, dan pusat
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;
4. unsur pelaksana administratif: bagian;
5. unsur penunjang: unit pelaksana teknis;
6. unsur lain yang dianggap perlu.
Pasal 75
Politeknik dipimpin oleh seorang Direktur dan dibantu oleh Pembantu Direktur yang terdiri atas
Pembantu Direktur bidang Akademik, Pembantu Direktur bidang Administrasi Umum, dan
Pembantu Direktur bidang Kemahasiswaan.
Pasal 76
(1) Direktur memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada
masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administratif dan
administrasi politeknik yang bersangkutan serta hubungannya dengan lingkungan.
(2) Bilamana Direktur berhalangan tidak tetap, Pembantu Direktur bidang Akademik bertindak
sebagai Pelaksana Harian Direktur.
(3) Bilamana Direktur berhalangan tetap, penyelenggara politeknik mengangkat Pejabat
Direktur sebelum diangkat Direktur yang baru.
Pasal 77
(1) Pembantu Direktur bertanggung jawab langsung kepada Direktur.
(2) Pembantu Direktur bidang Akademik membantu Direktur dalam memimpin pelaksanaan
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Pembantu Direktur bidang Administrasi Umum membantu Direktur dalam memimpin
pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan, dan administrasi umum.
(4) Pembantu Direktur bidang Kemahasiswaan membantu Direktur dalam pelaksanaan kegiatan
di bidang pembinaan serta pelayanan kesejahteraan mahasiswa.
Pasal 78
(1) Direktur politeknik yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain setelah mendapat
pertimbangan senat politeknik yang bersangkutan.
(2) Direktur politeknik yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh
badan penyelenggara politeknik yang bersangkutan setelah mendapat pertimbangan senat
politeknik dan dilaporkan kepada Menteri.
(3) Apabila Direktur yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku Menteri bisa meminta badan penyelenggara
politeknik untuk mengulang proses pengangkatan.
(4) Pembantu Direktur politeknik yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan
diberhentikan oleh Direktur setelah mendapat pertimbangan senat politeknik.
(5) Pembantu Direktur politeknik yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan
diberhentikan oleh Direktur setelah mendapat pertimbangan senat politeknik dan badan
penyelenggara.
(6) Pimpinan dan anggota badan penyelenggara politeknik yang diselenggarakan oleh
masyarakat tidak dibenarkan menjadi pimpinan politeknik yang bersangkutan.
Pasal 79
(1) Masa jabatan Direktur dan Pembantu Direktur adalah 4 (empat) tahun.
(2) Direktur dan Pembantu Direktur dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak lebih dari
dua kali masa jabatan berturut-turut.
Pasal 80
(1) Senat politeknik merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi pada politeknik yang
bersangkutan.
(2) Senat politeknik mempunyai tugas pokok:
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan politeknik ;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian
sivitas akademika ;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan politeknik ;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja politeknik yang diajukan oleh pimpinan politeknik ;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan politeknik atas pelaksanaan kebijakan yang
telah ditetapkan;
f. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan pada politeknik yang bersangkutan;
g. memberikan pertimbangan kepada penyelenggara politeknik berkenaan dengan
calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Direktur politeknik yang
bersangkutan dan dosen yang akan dicalonkan memangku jabatan akademik di atas
lektor;
h. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika.
(3) Senat politeknik terdiri atas Direktur, Pembantu Direktur, Ketua Jurusan, wakil dosen dan
unsur lain yang ditetapkan oleh senat politeknik.
(4) Senat politeknik dipimpin oleh Direktur, yang didampingi Sekretariat Senat politeknik yang
dipilih diantara anggota Senat politeknik.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya senat politeknik dapat membentuk komisi-komisi yang
beranggotakan anggota senat politeknik dan apabila dianggap perlu ditambah anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat politeknik diatur dalam statuta
politeknik yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta politeknik ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan di semua jenjang
struktur organisasi politeknik ditetapkan oleh senat politeknik.
Pasal 81
(1) Jurusan merupakan unsur pelaksana akademik yang melaksanakan pendidikan profesional
dalam sebagian atau satu cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
(2) Dalam jurusan dapat dibentuk laboratorium dan/atau studio.
(3) Jurusan terdiri atas:
a. Unsur pimpinan: Ketua dan Sekretaris jurusan;
b. Unsur pelaksana akademik: para dosen.
(4) Jurusan dipimpin oleh Ketua yang dibantu oleh Sekretaris.
(5) Ketua jurusan bertanggung jawab kepada Direktur.
(6) Ketua dan Sekretaris jurusan diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat
diangkat kembali.
(7) Bilamana jurusan mempunyai laboratorium dan/atau studio, satuan pelaksana tersebut
dipimpin oleh seorang Kepala.
(8) Ketua dan sekretaris jurusan serta Ketua laboratorium/studio diangkat dan diberhentikan
Direktur.
Pasal 82
Laboratorium/studio dipimpin oleh seorang dosen yang keahliannya telah memenuhi persyaratan
sesuai dengan cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu dan bertanggung
jawab kepada Ketua jurusan.
Pasal 83
(1) Penyelenggaraan program studi dipimpin oleh Ketua program studi atau Ketua jurusan.
(2) Ketua program studi bertanggung jawab kepada pimpinan satuan pelaksana akademik yang
membawahinya.
(3) Ketua program studi diangkat oleh Direktur atas usul pimpinan satuan pelaksana akademik
yang membawahinya.
(4) Masa jabatan Ketua program studi 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.
Pasal 84
(1) Unsur pelaksana administrasi pada politeknik terdiri atas Bagian Administrasi Akademik dan
Kemahasiswaan dan Bagian Administrasi Umum.
(2) Unsur pelaksana administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang
Kepala yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Direktur.
Pasal 85
(1) Unsur penunjang pada politeknik yang disebut Unit Pelaksana Teknis terdiri atas:
perpustakaan, laboratorium/studio, bengkel dan unsur penunjang lain yang diperlukan untuk
penyelenggaraan politeknik.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang
diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Direktur politeknik yang bersangkutan.
Bagian Kelima
Akademi
Pasal 86
(1) Akademi menyelenggarakan pendidikan profesional.
(2) Persyaratan penyelenggaraan pendidikan pada akademi diatur oleh Menteri.
Pasal 87
Organisasi akademi terdiri atas:
1. unsur pimpinan: Direktur dan Pembantu Direktur;
2. senat akademi;
3. unsur pelaksana akademik: jurusan, laboratorium/studio, kelompok dosen, dan pusat
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;
4. unsur pelaksana administratif: bagian;
5. unsur penunjang: unit pelaksana teknis;
6. unsur lain yang dianggap perlu.
Pasal 88
Akademi dipimpin oleh Direktur dan dibantu oleh pembantu Direktur yang terdiri atas Pembantu
Direktur bidang Akademik, Pembantu Direktur bidang Administrasi Umum dan Pembantu Direktur
bidang Kemahasiswaan.
Pasal 89
(1) Direktur memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada
masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administratif dan
administrasi akademi bersangkutan serta hubungannya dengan lingkungan.
(2) Bilamana Direktur berhalangan tidak tetap, Pembantu Direktur bidang Akademik bertindak
sebagai Pelaksana Harian Direktur.
(3) Bilamana Direktur berhalangan tetap, penyelenggara akademi mengangkat pejabat Direktur
sebelum diangkat Direktur yang baru.
Pasal 90
(1) Pembantu Direktur bertanggung jawab langsung kepada Direktur.
(2) Pembantu Direktur bidang Akademik membantu Direktur dalam memimpin pelaksanaan
pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
(3) Pembantu Direktur bidang Administrasi Umum membantu Direktur dalam pelaksanaan
kegiatan di bidang keuangan dan administrasi umum.
(4) Pembantu Direktur bidang Kemahasiswaan membantu Direktur dalam melaksanakan
kegiatan di bidang pembinaan mahasiswa serta pelayanan kesejahteraan mahasiswa.
Pasal 91
(1) Direktur akademi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain setelah mendapat
pertimbangan senat akademi yang bersangkutan.
(2) Direktur akademi yang diselenggarakan masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh badan
penyelenggara akademi yang bersangkutan setelah mendapat pertimbangan senat akademi
dan dilaporkan kepada Menteri.
(3) Apabila Direktur yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, Menteri bisa meminta badan penyelenggara
akademi untuk mengulang proses pengangkatan.
(4) Pimpinan dan anggota badan penyelenggara akademi yang diselenggarakan oleh
masyarakat tidak dibenarkan menjadi pimpinan akademi yang bersangkutan.
(5) Pembantu Direktur akademi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan
diberhentikan oleh Direktur setelah mendapat pertimbangan senat akademi.
(6) Pembantu Direktur akademi yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan
diberhentikan oleh Direktur setelah mendapat pertimbangan senat akademi dan badan
penyelenggara akademi.
Pasal 92
(1) Masa jabatan Direktur dan Pembantu Direktur adalah 4 (empat) tahun.
(2) Direktur dan Pembantu Direktur dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak boleh lebih
dari dua kali masa jabatan berturut-turut.
Pasal 93
(1) Senat akademi merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi di akademi yang
bersangkutan.
(2) Senat akademi mempunyai tugas pokok:
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan akademi;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian
sivitas akademik;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan akademi;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja akademi yang diajukan oleh pimpinan akademi;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan akademi atas pelaksanaan kebijakan yang
ditetapkan;
f. merumuskan norma dan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan akademi yang bersangkutan;
a. memberikan pertimbangan pada penyelenggara akademi berkenaan
dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Direktur
akademi dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas
lektor; dan
g. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika.
(3) Senat akademi terdiri atas Direktur, Pembantu Direktur, Ketua jurusan, wakil dosen, dan
unsur lain yang ditetapkan oleh senat akademi.
(4) Senat akademi dipimpin oleh Direktur, dibantu oleh Sekretaris senat akademi yang dipilih
dari para anggota senat akademi.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya senat akademi dapat membentuk komisi-komisi yang
beranggotakan anggota senat akademi dan apabila dianggap perlu ditambah anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat akademi diatur dalam statuta akademi
yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta akademi ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan di semua jenjang
struktur organisasi akademi ditetapkan oleh senat akademi.
Pasal 94
(1) Jurusan merupakan unsur pelaksana akademik yang melaksanakan pendidikan profesional
dalam sebagian atau satu cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
(2) Dalam jurusan dapat dibentuk laboratorium dan/atau studio.
(3) Jurusan terdiri atas:
a. unsur pimpinan: Ketua dan Sekretaris jurusan;
b. unsur pelaksana: para dosen.
(4) Jurusan dipimpin oleh Ketua yang dibantu oleh Sekretaris.
(5) Ketua jurusan bertanggung jawab kepada Direktur.
(6) Ketua dan Sekretaris jurusan diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat
diangkat kembali.
(7) Bilamana jurusan mempunyai laboratorium dan/atau studio, satuan pelaksana tersebut
dipimpin oleh seorang Kepala.
(8) Ketua dan Sekretaris jurusan serta Kepala laboratorium/studio diangkat dan diberhentikan
oleh Direktur, setelah mendapat pertimbangan senat akademi.
Pasal 95
Laboratorium/studio dipimpin oleh seorang dosen yang keahliannya telah memenuhi persyaratan
sesuai dengan cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu dan bertanggung
jawab kepada Ketua jurusan.
Pasal 96
(1) Penyelenggara program Studi dipimpin oleh Ketua program studi atau Ketua jurusan.
(2) Ketua program studi bertanggung jawab kepada pimpinan satuan pelaksana akademik yang
membawahinya.
(3) Ketua program studi diangkat oleh Direktur atas usul pimpinan satuan pelaksana akademik
yang membawahinya.
(4) Ketua program studi diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat
kembali.
Pasal 97
(1) Unsur pelaksana administrasi pada akademi terdiri atas Bagian Administrasi Akademik dan
Kemahasiswaan serta Bagian Administrasi Umum.
(2) Unsur pelaksana administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang
Kepala yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Direktur.
Pasal 98
(1) Unsur penunjang pada akademi yang disebut Unit Pelaksana Teknis terdiri atas
perpustakaan, laboratorium dan unsur penunjang lain yang diperlukan untuk
penyelenggaraan akademi.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang
diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Direktur.
Pasal 99
Pokok-pokok Organisasi akademi di lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan diatur
tersendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Organisasi masing-masing Perguruan Tinggi
Pasal 100
(1) Susunan organisasi, rincian tugas, fungsi, dan tata kerja setiap perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dalam statuta perguruan tinggi bersangkutan yang
ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain atas usul
senat perguruan tinggi yang bersangkutan.
(2) Susunan organisasi, rincian tugas, fungsi, dan tata kerja perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat diatur dalam statuta perguruan tinggi bersangkutan yang
ditetapkan oleh badan penyelenggara perguruan tinggi atas usul senat perguruan tinggi
yang bersangkutan dengan berpedoman pada ketentuan dalam BAB VIII.
BAB IX
TENAGA KEPENDIDIKAN
Pasal 101
(1) Tenaga kependidikan di perguruan tinggi terdiri atas dosen dan tenaga penunjang
akademik.
(2) Dosen adalah seorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh
penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada perguruan tinggi yang
bersangkutan.
(3) Dosen dapat merupakan dosen biasa, dosen luar biasa, dan dosen tamu.
(4) Dosen biasa adalah dosen yang diangkat dan ditempatkan sebagai tenaga tetap pada
perguruan tinggi yang bersangkutan.
(5) Dosen luar biasa adalah dosen yang bukan tenaga tetap pada perguruan tinggi yang
bersangkutan.
(6) Dosen tamu adalah seorang yang diundang untuk mengajar pada perguruan tinggi selama
jangka waktu tertentu.
Pasal 102
(1) Jenjang jabatan akademik dosen pada dasarnya terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor
kepala, dan guru besar.
(2) Wewenang dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian jabatan akademik diatur sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 103
Seseorang hanya dapat diangkat menjadi guru besar atau profesor di lingkungan universitas,
institut, atau sekolah tinggi.
Pasal 104
(1) Syarat untuk menjadi dosen adalah:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. berwawasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar;
d. mempunyai moral dan integritas yang tinggi;
e. memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara.
(2) Syarat untuk menjadi guru besar selain sebagaimana tercantum pada ayat (1) adalah:
a. sekurang-kurangnya memiliki jabatan akademik lektor;
b. memiliki kemampuan akademik untuk membimbing calon Doktor.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi guru besar, harus diperoleh persetujuan dari senat
universitas/institut/sekolah tinggi yang bersangkutan.
(4) Guru besar diangkat oleh Menteri atas usul pimpinan perguruan tinggi setelah mendapat
persetujuan dari senat universitas/institut/sekolah tinggi yang bersangkutan.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) diatur oleh Menteri.
Pasal 105
Sebutan guru besar atau profesor hanya dapat digunakan selama yang bersangkutan
melaksanakan tugas dosen di perguruan tinggi.
Pasal 106
(1) Guru besar yang telah mengakhiri masa jabatannya dapat diangkat kembali menjadi guru
besar di perguruan tinggi sebagai penghargaan istimewa, dengan sebutan guru besar
meritus.
(2) Syarat pengangkatan dan tanggung jawab guru besar meritus diatur oleh Menteri.
Pasal 107
(1) Tenaga penunjang akademik terdiri atas peneliti, pengembang di bidang pendidikan,
pustakawan, pranata komputer, laboran, dan teknisi sumber belajar.
(2) Persyaratan, tata cara pengangkatan dan wewenang tenaga penunjang akademik diatur
oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan
yang berlaku.
BAB X
MAHASISWA DAN ALUMNI
Pasal 108
(1) Untuk menjadi mahasiswa seseorang harus:
a. memiliki Surat Tanda Tamat Belajar Pendidikan Menengah;
b. memiliki kemampuan yang disyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
(2) Warga negara asing dapat menjadi mahasiswa setelah memenuhi persyaratan tambahan
dan melalui prosedur tertentu.
(3) Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan prosedur untuk menjadi mahasiswa diatur
oleh senat perguruan tinggi.
(4) Persyaratan tambahan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur oleh
Menteri.
Pasal 109
(1) Mahasiswa mempunyai hak:
a. menggunakan kebebasan akademik secara bertanggung jawab untuk menuntut dan
mengkaji ilmu sesuai dengan norma dan susila yang berlaku dalam lingkungan
akademik;
b. memperoleh pengajaran sebaik-baiknya dan layanan bidang akademik sesuai dengan
minat, bakat, kegemaran dan kemampuan;
c. memanfaatkan fasilitas perguruan tinggi dalam rangka kelancaran proses belajar;
d. mendapat bimbingan dari dosen yang bertanggung jawab atas program studi yang
diikutinya dalam penyelesaian studinya;
e. memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan program studi yang diikutinya
serta hasil belajarnya;
f. menyelesaikan studi lebih awal dari jadwal yang ditetapkan sesuai dengan
persyaratan yang berlaku;
g. memperoleh layanan kesejahteraan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
h. memanfaatkan sumberdaya perguruan tinggi melalui perwakilan/organisasi
kemahasiswaan untuk mengurus dan mengatur kesejahteraan, minat dan tata
kehidupan bermasyarakat;
i. pindah keperguruan tinggi lain atau program studi lain, bilamana memenuhi
persyaratan penerimaan mahasiswa pada perguruan tinggi atau program studi yang
hendak dimasuki, dan bila mana daya tampung perguruan tinggi atau program yang
bersangkutan memungkinkan;
j. ikut serta dalam kegiatan organisasi mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan;
k. memperoleh pelayanan khusus bilamana menyandang cacat.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh pimpinan masingmasing
perguruan tinggi.
Pasal 110
(1) Setiap mahasiswa berkewajiban untuk:
a. mematuhi semua peraturan/ketentuan yang berlaku pada perguruan tinggi yang
bersangkutan;
b. ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan
perguruan tinggi yang bersangkutan;
c. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi mahasiswa yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
d. menghargai ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian;
e. menjaga kewibawaan dan nama baik perguruan tinggi yang bersangkutan;
f. menjunjung tinggi kebudayaan nasional.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh pimpinan
perguruan tinggi.
Pasal 111
(1) Untuk melaksanakan peningkatan kepemimpinan, penalaran, minat, kegemaran dan
kesejahteraan mahasiswa dalam kehidupan kemahasiswaan pada perguruan tinggi dibentuk
organisasi kemahasiswaan.
(2) Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan dari, oleh dan untuk
mahasiswa.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 112
(1) Alumni perguruan tinggi adalah seseorang yang tamat pendidikan di perguruan tinggi yang
bersangkutan
(2) Alumni perguruan tinggi dapat membentuk organisasi alumni yang bertujuan untuk membina
hubungan dengan perguruan tinggi yang bersangkutan dalam upaya untuk menunjang
pencapaian tujuan pendidikan tinggi.
BAB XI
SARANA DAN PRASARANA
Pasal 113
(1) Pengelolaan sarana dan prasarana yang diperoleh dengan dana yang berasal dari
Pemerintah diselenggarakan berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi pengelolaan
kekayaan milik negara.
(2) Pengelolaan sarana dan prasarana yang diperoleh dengan dana yang berasal masyarakat
dan pihak luar negeri yang diluar penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara diatur dengan ketentuan yang ditetapkan pimpinan perguruan tinggi dengan
persetujuan senat perguruan tinggi yang bersangkutan.
(3) Tata cara pendayagunaan sarana dan prasarana untuk memperoleh dana guna menunjang
pelaksanaan tugas dan fungsi perguruan tinggi, diatur pimpinan perguruan tinggi yang
bersangkutan dengan persetujuan senat perguruan tinggi yang bersangkutan.
BAB XII
PEMBIAYAAN
Pasal 114
(1) Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan
pihak luar negeri.
(2) Penggunaan dana yang berasal dari Pemerintah baik dalam bentuk anggaran rutin maupun
anggaran pembangunan serta subsidi diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah Perolehan dana perguruan tinggi yang berasal
dari sumber-sumber sebagai berikut:
a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP);
b. biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi;
c. hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi;
d. hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi;
e. sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga nonpemerintah;
dan
f. penerimaan dari masyarakat lainnya.
(4) Penerimaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar negeri diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat didasarkan atas pola prinsip
tidak mencari keuntungan.
Pasal 115
(1) Otonomi dalam bidang keuangan bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan Pemerintah
mencakup kewenangan untuk menerima, menyimpan dan menggunakan dana yang berasal
secara langsung dari masyarakat.
(2) Perguruan tinggi menyelenggarakan pembukuan terpadu berdasarkan peraturan tata buku
yang berlaku.
(3) Pembukuan keuangan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diperiksa
oleh aparat pengawasan fungsional Pemerintah sesuai dengan ketentuan perundangundangan
yang berlaku.
(4) Kewenangan penerimaan, penyimpanan dan penggunaan dana serta pembukuan keuangan
perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat ditentukan oleh badan
penyelenggara perguruan tinggi berdasarkan statuta perguruan tinggi dimaksud.
Pasal 116
(1) Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, setelah disetujui oleh senat perguruan tinggi diusulkan oleh
Rektor/Ketua/Direktur melalui Menteri, Menteri lain, atau pimpinan lembaga Pemerintah lain
kepada Menteri Keuangan untuk disahkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja
perguruan tinggi.
(2) Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat setelah disetujui oleh senat perguruan tinggi diusulkan oleh
Rektor/Ketua/Direktur kepada badan penyelenggara perguruan tinggi yang diselenggarakan
oleh masyarakat yang bersangkutan untuk disahkan menjadi Anggaran Pendapatan dan
Belanja perguruan tinggi.
Pasal 117
(1) Pimpinan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah menyusun usulan struktur
tarip dan tata cara pengelolaan dan pengalokasian dana yang berasal dari masyarakat,
setelah disetujui oleh senat perguruan tinggi usulan ini diajukan oleh Rektor/Ketua/Direktur
melalui Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain kepada Menteri
Keuangan untuk disahkan.
(2) Pimpinan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat menyusun usulan struktur
tarip dan tata cara pengelolaan dan pengalokasian dana yang berasal dari masyarakat,
setelah disetujui oleh senat perguruan tinggi usulan ini diajukan Rektor/Ketua/Direktur
kepada badan penyelenggara perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang
bersangkutan untuk disahkan.
BAB XIII
SYARAT DAN TATA CARA PENDIRIAN
Pasal 118
(1) Pendirian, perubahan dan penambahan unsur pelaksana akademik perguruan tinggi
didasarkan atas usulan yang meliputi:
a. rencana induk pengembangan;
b. kurikulum;
c. tenaga kependidikan;
d. calon mahasiswa;
e. sumber pembiayaan;
f. sarana dan prasarana;
g. penyelenggara perguruan tinggi.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 119
(1) Pendirian perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat selain memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini harus pula memenuhi
persyaratan bahwa penyelenggaranya berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial.
(2) Pendirian perguruan tinggi kedinasan selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 118, harus pula memenuhi persyaratan:
a. melaksanakan pendidikan tenaga yang dibutuhkan departemen lain atau lembaga
Pemerintah lain yang tidak dapat dipenuhi oleh satuan pendidikan tinggi di lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan baik dalam jumlah maupun kualifikasi;
b. memiliki ketentuan baku dalam penyelenggaraannya yang meliputi kurikulum dan
penerimaan mahasiswa yang dikaitkan dengan penempatan lulusannya pada
departemen lain atau lembaga pemerintah lain yang bersangkutan;
c. mendapat persetujuan dari Menteri.
Pasal 120
Persyaratan pendirian perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan jarak jauh diatur oleh
Menteri.
Pasal 121
Tata cara pendirian perguruan tinggi diatur oleh Menteri.
Pasal 122
(1) Pendirian universitas, institut, dan sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul yang diajukan oleh Menteri.
(2) Pendirian akademi dan politeknik yang diselenggarakan oleh Pemerintah ditetapkan oleh
Menteri, Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah lain setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur
negara dan Menteri Keuangan.
Pasal 123
(1) Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk
dikelola secara mandiri dapat ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang
mandiri.
(2) Ketentuan-ketentuan mengenai Badan Hukum sebagaimana disebut pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 124
Pendirian dan perubahan bentuk perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat
ditetapkan oleh pimpinan badan penyelenggara perguruan tinggi setelah mendapat persetujuan
tertulis dari Menteri, atau Menteri lain setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
Pasal 125
Perguruan tinggi dan/atau lembaga lain di luar negeri dapat mendirikan perguruan tinggi baru di
Indonesia melalui patungan dengan mitra kerja Indonesia, dengan mengikuti sistem pendidikan
serta syarat dan tata cara pendirian yang berlaku bagi pendidikan tinggi Indonesia.
www.hukumonline.com
www.hukumonline.com
Pasal 126
Perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat dan tata cara pendirian perguruan tinggi yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah ini tidak dibenarkan memberikan gelar akademik dan/atau sebutan
profesional.
Pasal 127
Menteri dapat menutup perguruan tinggi yang:
1. tidak memenuhi syarat dan tata cara pendirian perguruan tinggi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini;
2. memberikan gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
3. mengadakan kerja sama dengan perguruan tinggi asing yang tidak memenuhi ketentuan
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB XIV
PENGAWASAN DAN AKREDITASI
Pasal 128
(1) Menteri menetapkan Tata cara pengawasan mutu dan efisiensi semua perguruan tinggi.
(2) Mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterkaitan antara tujuan, masukan,
proses, dan keluaran, yang merupakan tanggung jawab institusional perguruan tinggi
masing-masing.
(3) Penilaian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan akreditasi yang
mandiri.
(4) Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi berdasarkan
hasil pengawasan mutu dan efisiensi.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) diatur oleh Menteri.
BAB XV
KERJASAMA ANTAR PERGURUAN TINGGI
Pasal 129
(1) Dalam pelaksanaan kegiatan akademik, perguruan tinggi dapat menjalin kerja sama dengan
perguruan tinggi dan/atau lembaga-lembaga lain baik di dalam maupun di luar negeri.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. kontrak manajemen;
b. program kembaran;
c. program pemindahan kredit;
d. tukar menukar dosen dan mahasiswa dalam penyelenggaraan kegiatan akademik;
e. pemanfaatan bersama sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan akademik;
f. penerbitan bersama karya ilmiah;
g. penyelenggaraan bersama seminar atau kegiatan ilmiah lain; dan
h. bentuk-bentuk lain yang dianggap perlu.
(3) Kerja sama dalam bentuk kontrak manajemen, program kembaran, dan program
pemindahan kredit dengan perguruan tinggi luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) hanya dapat dilaksanakan sepanjang program studi dari perguruan tinggi luar negeri
telah terakreditasi di negaranya.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus berkenaan dengan
kerja sama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga lain di luar negeri diatur oleh Menteri.
Pasal 130
Dalam rangka pembinaan pendidikan tinggi perguruan tinggi dapat memberi bantuan kepada
perguruan tinggi lain.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 131
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan mengenai pendidikan tinggi
yang telah ada pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 132
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1990 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3414) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3765),
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 133
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 24 Juni 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 24 Juni 1999
MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar