KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
BUKU KESATU - ATURAN UMUM
Bab
I - Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan.
Bab
II - Pidana.
Bab
III - Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana.
Bab
IV - Percobaan.
Bab
V - Penyertaan Dalam Tindak Pidana.
Bab
VI - Perbarengan Tindak Pidana.
Bab
VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan
kejahatan
yang Hanya Dituntut atas Pengaduan.
Bab
VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana.
Bab
IX - Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang.
Aturan
Penutup.
BAB I
BATAS-BATAS BERLAKUNYA ATURAN PIDANA
DALAM PERUNDANGUNDANGAN
Pasal
1
(1)
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan
pidana yang telah ada.
(2)
Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan,
maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Pasal
2
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan dengan Indonesia diterapkan bagi setiap orang
yang
melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
Pasal
3
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di
luar
wilayah
Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara
Indonesia.
Pasal
4
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan
di luar Indonesia:
1.
salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108,dan 131.
2.
suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh
negara atau
bank,
ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh
Pemerintah
Indonesia.
3.
pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas
tanggungan
suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon,
tanda
dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda
yang
dikeluarkan
sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di
atas,
yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsui.
4.
salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446
tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada
kekuasaan
bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara
melawan
hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan
penerbangan sipil.
Pasal
5
1
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia ditetapkan bagi warga
negara
yang
di luar Indonesia melakukan:
1
salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal
160,
161,
240, 279, 450, dan 451.
2
salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundangundangan
Indonesia
dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundangundangan
negara
di mana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
2
Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika
tertuduh
menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Pasal
6
Berlakunya
pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan
pidana
mati,
jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya
tidak
diancamkan pidana mati.
Pasal
7
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di
luar
Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab
XXVIII
Buku
Kedua.
Pasal
8
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan
penumpang
perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan
salah
satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX
Buku
Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas
kapal di
Indonesia,
maupun dalam Ordonansi Perkapalan.
Pasal
9
Diterapkannya
pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui
dalam
hukum internasional.
BAB II
PIDANA
Pasal
10
Pidana
terdiri atas:
a
pidana pokok:
1
pidana mati.
2
pidana penjara.
3
pidana kurungan.
4
pidana denda.
5
pidana tutupan.
b
pidana tambahan:
1
pencabutan hak-hak tertentu.
2
perampasan barang-barang tertentu.
3
pengumuman putusan hakim.
Pasal
11
Pidana
mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang
terikat di
tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana
berdiri.
Pasal
12
1.
Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
2.
Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama
lima belas
tahun
berturut-turut.
3.
Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun
berturutturut
dalam
hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati,
pidana
seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana
penjara
seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal
batas
lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan,
pengulangan
atau karena ditentukan pasal 52.
4.
Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh
tahun.
Pasal
13
Para
terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan.
Pasal
14
Terpidana
yang dijatuhkan pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang
dibebankan
kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan pasal 29.
Pasal
14a
1.
Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan,
tidak
termasuk
pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan
pula
bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan
hakim
yang
menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana
sebelum
masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau
karena
si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin
ditentukan
lain dalam perintah itu.
2.
Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara
yang
mengenai
penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi
harus
ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin
diperintahkan
pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini,
kejahatan
dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan
negara,
jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal
dijatuhkan
pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 a.2.
3.
Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga
mengenai
pidana
pokok juga mengenai pidana tambahan.
4.
Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat
berkeyakinan
bahwa
dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa
terpidana
tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya
ditetapkan.
5.
Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang
menjadi
alasan
perintah itu.
Pasal
14b
1.
Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505,
506,
dan
536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.
2.
Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah
diberitahukan
kepada
terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
3.
Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.
Pasal
14c
1.
Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda,
selain
menetapkan
syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim
dapat
menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim dapat
menerapkan
syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek
daripada
masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang
ditimbulkan
oleh tindak pidana tadi.
2.
Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana
kurungan
atas
salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536,
maka
boleh
diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang
harus
dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
3.
Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau
kemerdekaan
berpolitik terpidana.
Pasal
14d
1.
Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang
berwenang
menyuruh
menjalankan putusan, jika kemidian ada perintah untuk menjalankan putusan.
2.
Jika ada alasan, hakim dapat perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk
badan
hukum
dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah
penampungan
yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi
pertolongan
atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
3.
Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai
penunjukan
lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan
bantuan
itu, diatur dengan undang-undang.
Pasal
14e
Atas
usul pejabat dalam pasal ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang
memutus
perkara
dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat
khusus
dalam
masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang
diperintahkan
semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh
memperpanjang
masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang
paling
lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.
Pasal
14f
1.
Tanpa mengurangi ketentuan pasal di atas, maka atas usul pejabat tersebut dalam
pasal
14d
ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan
supaya
pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi
peringatan
pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak
pidana
dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat
lainnya
tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi
pemidanaan
yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa
percobaan
mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga
cara
bagaimana memberikan peringatan itu.
2.
Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat
diberikan
lagi,
kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan
tindak
pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan
pemidanaan
yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah
pemidanaan
menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya
dijalankan,
karena melakukan tindak pidana tadi.
Pasal
15
1.
Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang
dijatuhkan
kepadanya,
sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan
pelepasan
bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut,
pidana
itu dianggap sebagai satu pidana.
2.
Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan,
serta
ditetapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
3.
Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum
dijalani,
ditambah
satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak
termasuk
masa percobaan.
Pasal
15a
1.
Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan
melakukan
tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
2.
Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan
terpidana,
asal
saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
3.
Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut
dalam
pasal
14d ayat 1.
4.
Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang
sematamata
harus
bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
5.
Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat
diadakan
syarat-syarat
khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan
khusus
itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
6.
Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat
syarat-syarat
yang
harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan,
maka
orang
itu diberi surat pas baru.
Pasal
15b
1.
Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan
hal-hal
yang
melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat
dapat
dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri
Kehakiman
dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
2.
Waktu selama terpidana dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak
termasuk
waktu pidananya.
3.
Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat
dicabut
kembali,
kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena
melakukan
tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan
pidana
yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga
bulan
bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi
tetap
berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa
percobaan.
Pasal
16
1.
Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau
setelah
mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat
keterangan
dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu
pendapat
Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
2.
Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam
pasal
15a
ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar
dari
jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat
Dewan
Reklasering Pusat.
3.
Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat di mana
dia
berada,
orang yang dilepaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan
guna
menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu
selama
masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut
dalam
surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri
Kehakiman.
4.
Waktu penahanan paling lama enam puluh hari. Jika penahanan disusul dengan
penghentian
untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang
itu
dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.
Pasal
17
Contoh
surat pas dan peraturan pelaksanaan pasal-pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan
undangundang.
Pasal
18
1.
Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun.
2.
Jika ada pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena
ketentuan
pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan.
3.
Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.
Pasal
19
1.
Orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang dibebankan
kepadanya,
sesuai dengan aturan-aturan pelaksanaan pasal 29.
2.
Ia diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada orang yang dijatuhi pidana
penjara.
Pasal
20
1.
Hakim yang menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama satu
bulan,
boleh
menetapkan bahwa jaksa dapat mengizinkan terpidana bergerak dengan bebas di
luar
penjara sehabis waktu kerja.
2.
Jika terpidana yang mendapat kebebasan itu mendapat kebebasan itu tidak datang
pada
waktu
dan tempat yang telah ditentukan untuk menjalani pekerjaan yang dibebankan
kepadanya,
maka ia harus menjalani pidananya seperti biasa kecuali kalau tidak
datangnya
itu bukan karena kehendak sendiri.
3.
Ketentuan dalam ayat 1 tidak diterapkan kepada terpidana karena terpidana jika
pada
waktu
melakukan tindak pidana belum ada dua tahun sejak ia habis menjalani pidana
penjara
atau pidana kurungan.
Pasal
21
Pidana
kurungan harus dijalani dalam daerah di mana si terpidana berdiam ketika
putusan
hakim
dijalankan, atau jika tidak punya tempat kediaman, di dalam daerah di mana ia
berada,
kecuali
kalau Menteri Kehakiman atas permintaannya terpidana membolehkan menjalani
pidananya
di daerah lain.
Pasal
22
1.
Terpidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di suatu tempat yang
digunakan
untuk menjalani pidana penjara, atau pidana kurungan, atau kedua-duanya,
segera
sehabis pidana habis hilang kemerdekaan itu selesai, kalau diminta, boleh
menjalani
kurungan di tempat itu juga.
2.
Pidana kurungan karena sebab di atas dijalani di tempat yang khusus untuk
menjalani
pidana
penjara, tidak berubah sifatnya oleh karena itu.
Pasal
23
Orang
yang dijatuhi pidana kurungan, dengan biaya sendiri boleh sekedar meringankan
nasibnya
menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal
24
Orang
yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan boleh diwajibkan bekerja di
dalam
atau
di luar tembok tempat orang-orang terpidana.
Pasal
25
Yang
tidak boleh diserahi pekerjaan di luar tembok tempat tersebut ialah:
1.
Orang-orang yang di jatuhi pidana penjara seumur hidup.
2.
Para wanita.
3.
Orang-orang yang menurut pemeriksaan dokter tidak boleh menjalankan pekerjaan
demikian.
Pasal
26
Jikalau
mengingat keadaan diri atau masyarakat terpidana, hakim menimbang ada alasan,
maka
dalam
putusan ditentukan bahwa terpidana tidak boleh diwajibkan bekerja di luar
tembok
tempat
orang-orang terpidana.
Pasal
27
Lamanya
pidana penjara untuk waktu tertentu dan pidana kurungan dalam putusan hakim
dinyatakan
dengan hari, minggu, bulan, dan tahun; tidak boleh dengan pecahan.
Pasal
28
Pidana
penjara dan pidana kurungan dapat dilaksanakan di satu tempat asal saja
terpisah.
Pasal
29
1.
Hal menunjuk tempat untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan, atau
keduaduanya,
begitu
juga hal mengatur dan mengurus tempat-tempat itu, hal membedakan
orang
terpidana dalam golongan-golongan, hal mengatur pemberian pengajaran,
penyelenggaraan
ibadat, hal tata tertib, hal tempat untuk tidur, hal makanan, dan
pakaian,
semuanya itu diatur dengan undang-undang sesuai dengan kitab undangundang
sesuai
dengan kitab undang-undang ini.
2.
Jika perlu, Menteri Kehakiman menetapkan aturan rumah tangga untuk
tempat-tempat
orang
terpidana.
Pasal
30
1.
Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
2.
Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
3.
Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam
bulan.
4.
Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian;
jika
pidana
dendanya tujuh rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari;
jika
lebih
dari lima rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di
hitung
paling
banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh
sen.
5.
Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau
pengulangan,
atau
karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan
bulan.
6.
Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Pasal
31
1.
Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu
pembayaran
denda.
2.
Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan
membayar
dendanya.
3.
Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai
menjalani
pidana
kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
Pasal
32
1.
Pidana penjara dan pidana kurungan mulai berlaku bagi terpidana yang sudah di
dalam
tahanan
sementara, pada hari ketika putusan hakim menjadi tetap, dan bagi terpidana
lainnya
pada hari ketika putusan hakim mulai dijalankan.
2.
Jika dalam putusan hakim dijatuhkan pidana penjara dan pidana kurungan atas
beberapa
perbuatan
pidana, dan kemudian putusan itu bagi kedua pidana tadi menjadi tetap pada
waktu
yang sama, sedangkan terpidana sudah ada dalam tahanan sementara karena
kedua
atau salah satu perbuatan pidana itu, maka pidana penjara mulai berlaku pada
saat
ketika
putusan hakim menjadi tetap, dan pidana kurungan mulai berlaku setelah pidana
penjara
habis.
Pasal
33
1.
Hakim dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu terpidana ada dalam tahanan
sementara
sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau sebagian di potong dari
pidana
penjara selama waktu tertentu dari pidana kurungan atau dari pidana denda yang
dijatuhkan
kepadanya; dalam hal pidana denda dengan memakai ukuran menurut pasal
31
ayat 3.
2.
Waktu selama seorang terdakwa dalam tahanan sementara yang tidak berdasarkan
surat
perintah,
tidak dipotong dari pidananya, kecuali jika pemotongan itu dinyatakan khusus
dalam
putusan hakim.
3.
Ketentuan pasal ini berlaku juga dalam hal terdakwa oleh sebab dituntut bareng
karena
melakukan
beberapa tindak pidana, kemudian dipidana karena perbuatan lain daripada
yang
didakwakan kepadanya waktu ditahan sementara.
Pasal
33a
Jika
orang yang ditahan sementara di jatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan
kemudian
dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun,
waktu
mulai permohonan diajukan hingga ada putusan Presiden, tidak dihitung sebagai
waktu
menjalani
pidana, kecuali jika Presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan
bahwa
waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Pasal
34
Jika
terpidana selama menjalani pidana melarikan diri, maka waktu selama di luar
tempat
menjalani
pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Pasal
35
1
Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang
ditentukan
dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
1
hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu.
2
hak memasuki Angkatan Bersenjata.
3
hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum.
4
hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak
menjadi
wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang
yang
bukan anak sendiri.
5
hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas
anak
sendiri.
6
hak menjalankan mata pencarian tertentu.
2
Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam
aturanaturan
khusus
di tentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
Pasal
36
Hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu dan hak memasuki Angkatan
Bersenjata,
kecuali dalam hal yang diterangkan dalam Buku Kedua, dapat di cabut dalam hal
pemidanaan
karena kejahatan jabatan atau kejahatan yang melanggar kewajiban khusus sesuatu
jabatan,
atau karena memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan pada
terpidana
karena jabatannya.
Pasal
37
1
Kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu
pengawas,
baik
atas anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut dalam hal pemidanaan:
1
orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan bersama-sama
dengan
anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya.
2
orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa yang ada di bawah
kekuasaannya,
melakukan kejahatan, yang tersebut dalam bab XIII, XIV, XV,
XVIII,
XIX, dan XX Buku Kedua.
2
Pencabutan tersebut dalam ayat 1 tidak boleh dilakukan oleh hakim pidana
terhadap
orang-orang
yang baginya diterapkan undang-undang hukum perdata tentang
pencabutan
kekuasaan orang tua, kekuasaan wali dan kekuasaan pengampu.
Pasal
38
1
Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai
berikut:
1
dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan
seumur
hidup.
2
dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya
pencabutan
paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari
pidana
pokoknya.
3
dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling
banyak
lima tahun.
2
Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan.
Pasal
39
1.
Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang
sengaja
dipergunakan
untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
2.
Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau
karena
pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang
ditentukan
dalam undang-undang.
3.
Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada
pemerintah,
tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal
40
Jika
seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut
barang-barang
dengan melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagianbagian
Indonesia
yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan,
mengeluarkan,
dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan
pidana
perampasan atas barang-barang itu, juga dalam hal yang bersalah diserahkan
kembali
kepada
orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun.
Pasal
41
1.
Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumnya, diganti menjadi pidana
kurungan,
apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran
dalam
putusan hakim, tidak di bayar.
2.
Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam
bulan.
3.
Lamanya pidana kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai
berikut:
tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari
tujuh
rupiah
lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak
satu
hari,
demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
4.
Pasal 31 diterapkan bagi pidana kurungan pengganti ini.
5.
Jika barang-barang yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga
di
hapus.
Pasal
42
Segala
biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala
pendapatan
dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.
Pasal
43
Apabila
hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang
ini
atau aturan-aturan umum lainnya, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara
melaksanakan
perintah itu atas biaya terpidana.
BAB III
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN, MENGURANGI
ATAU MEMBERATKAN
PIDANA
Pasal
44
1.
Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya
karena
jiwanya
cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2.
Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya
karena
pertumbuhan
jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun
sebagai waktu percobaan.
3.
Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi,
dan
Pengadilan
Negeri.
Pasal
45
Dalam
hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu
perbuatan
sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya
yang
bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa
pidana
apa
pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana
apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasarkan
pasal-pasal
489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540
serta
belum
lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah
satu
pelanggaran
tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana
kepada
yang bersalah.
Pasal
46
1.
Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah,
maka ia
dimasukkan
dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari
pemerintah
atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang
tertentu
yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan
atau
lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan
pendidikannya,
atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain;
dalam
kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur
delapan
belas tahun.
2.
Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal
47
1.
Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak
pidananya
dikurangi sepertiga.
2.
Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
pidana
penjara
seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3.
Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.
Pasal
48
Barang
siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
Pasal
49
1.
Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri
maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun
orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada
saat
itu yang melawan hukum.
2.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan
jiwa
yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal
50
Barang
siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak
dipidana.
Pasal
51
1.
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan
oleh
penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
2.
Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali
jika
yang
diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang
dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Pasal
52
Bilamana
seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban
khusus
dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan,
kesempatan
atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat
ditambah
sepertiga.
Pasal
52a
Bilamana
pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik
Indonesia,
pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga.
BAB IV
PERCOBAAN
Pasal
53
1.
Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya
permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan
karena kehendaknya sendiri.
2.
Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi
sepertiga.
3.
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4.
Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal
54
Mencoba
melakukan pelanggaran tidak dipidana.
BAB V
PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA
Pasal
55
1
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1
mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan
perbuatan.
2
mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan
kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau
dengan
memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan
orang
lain supaya melakukan perbuatan.
2
Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan,
beserta akibat-akibatnya.
Pasal
56
Dipidana
sebagai pembantu kejahatan:
1.
mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
2.
mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Pasal
57
1.
Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi
sepertiga.
2.
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3.
Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
4.
Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang
sengaja
dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pasal
58
Dalam
menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang
menghapuskan,
mengurangi atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan
terhadap
pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri.
Pasal
59
Dalam
hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus,
anggotaanggota
badan
pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus
atau
komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Pasal
60
Membantu
melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Pasal
61
1.
Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penertiban selaku demikian
tidak
dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya,
sedangkan
pembuatnya dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur
pertama
kali lalu diberitahukan kepada penerbit.
2.
Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada saat barang cetakkan terbit, tidak
dapat dituntut
atau
sudah menetap di luar Indonesia.
Pasal
62
1.
Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku
demikian
tidak
dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya,
sedangkan
orang yang menyuruh mencetak dikenal, atau setelah dimulai penuntutan,
pada
waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh pencetak.
2.
Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang
cetakkan
terbit,
tidak dapat dituntut sudah menetap di luar Indonesia.
BAB VI
PERBARENGAN TINDAK PIDANA
Pasal
63
1.
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan
hanya
salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang
memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat.
2.
Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula
dalam
aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Pasal
64
1.
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran,
ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan
berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang
diterapkan
yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2.
Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan
bersalah
melakukan
pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu
atau
yang dirusak itu.
3.
Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam
pasal-pasal
364,
373, 379, dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang
ditimbulkan
jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia
dikenakan
aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, dan 406.
Pasal
65
1.
Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan
yang
berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan
pidana
pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
2.
Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam
terhadap
perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah
sepertiga.
Pasal
66
1.
Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang
sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam
dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap
kejahatan,
tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah
sepertiga.
2.
Pidana denda adalah hal itu dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan
pengganti
yang ditentukan untuk perbuatan itu.
Pasal
67
Jika
orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu
tidak boleh
dijatuhkan
pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan
hakim.
Pasal
68
1
Berdasarkan hal-hal dalam pasal 65 dan 66, tentang pidana tambahan berlaku
aturan
sebagai
berikut:
1
pidana-pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu, yang lamanya paling
sedikit
dua tahun dan paling banyak lima tahun melebihi pidana pokok atau
pidana-pidana
pokok yang dijatuhkan. Jika pidana pokok hanya pidana denda saja,
maka
lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling lama lima
tahun.
2
pidana-pidana pencabutan hak yang berlainan dijatuhkan sendiri-sendiri tanpa
dikurangi.
3
pidana-pidana perampasan barang-barang tertentu, begitu pula halnya dengan
pidana
kurungan pengganti karena barang-barang tidak diserahkan, dijatuhkan
sendiri-sendiri
tanpa dikurangi.
2
pidana kurungan-kurungan pengganti jumlahnya tidak boleh melebihi delapan
bulan.
Pasal
69
1.
Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut
urut-urutan
dalam
pasal 10.
2.
Jika hakim memilih antara beberapa pidana pokok, maka dalam perbandingan hanya
terberatlah
yang dipakai.
3.
Perbandingan beratnya pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut
maksimumnya
masing-masing.
4.
Perbandingan lamanya pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut
maksimumnya
masing-masing.
Pasal
70
1.
Jika ada perbarengan seperti yang dimaksudkan dalam pasal 65 dan 66, baik
perbarengan
pelanggaran
dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk
tiap-tiap
pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
2.
Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan dan pidana kurungan
pengganti
paling banyak satu tahun empat bulan, sedangkan jumlah lamanya pidana
kurungan
pengganti, paling banyak delapan bulan.
Pasal
70 bis
Ketika
menerapkan pasal-pasal 65, 66, dan 70, kejahatan-kejahatan berdasarkan
pasal-pasal
302
ayat 1, 352, 364, 373,379, dan 482 dianggap sebagai pelanggaran, dengan
pengertian jika
dijatuhkan
pidana-pidana penjara atas kejahatan-kejahatan itu, jumlah paling banyak
delapan
bulan.
Pasal
71
Jika
seseorang telah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi karena
melakukan
kejahatan
atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu
diperhitungkan
pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam
bab
ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama.
BAB VII
MENGAJUKAN DAN MENARIK KEMBALI
PENGADUAN DALAM HAL
KEJAHATAN-KEJAHATAN YANG HANYA
DITUNTUT ATAS PENGADUAN
Pasal
72
1.
Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan,
dan
orang
itu umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia
berada
di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka
wakilnya
yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu.
2.
Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka
penuntutan
dilakukan
atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang
menjadi
wali pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya
atau
seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, atas
pengaduan
seorang
keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.
Pasal
73
Jika
yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam
pasal
berikut
maka tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan
orang
tuanya,
anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup kecuali kalau ternyata bahwa
yang
meninggal
tidak menghendaki penuntutan.
Pasal
74
1.
Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak
mengadu
mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam
waktu
sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
2.
Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang waktu tersebut
dalam
ayat
1 belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya
selama
sisa
yang masih kurang pada tenggang waktu tersebut.
Pasal
75
Orang
yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan
setelah
pengaduan
diajukan.
BAB VIII
HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA
DAN MENJALANKAN
PIDANA
Pasal
76
1
Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh
dituntut
dua
kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan
putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim
pengadilan
swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan
tersebut.
2
Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap
orang itu dan
karena
tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
1
putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum.
2
putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun
atau
wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
Pasal
77
Kewenangan
menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.
Pasal
78
1
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
1
mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan
sesudah
satu tahun.
2
mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau
pidana
penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun.
3
mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun,
sesudah
dua belas tahun.
4
mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup,
sesudah delapan belas tahun.
2
Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas
tahun,
masing-masing
tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal
79
Tenggang
daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam
halhal
berikut:
1.
mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari
sesudah
barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
2.
mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai
pada
hari
sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal
dunia.
3.
mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai
pada
hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut
aturan-aturan
umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus
dipindah
ke kantor panitera suatu pengadilan, dipindah ke kantor tersebut.
Pasal
80
1.
Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu
diketahui oleh
orang
yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan
dalam
aturan-aturan umum.
2.
Sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.
Pasal
81
Penundaan
penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan prayudisial, menunda
daluwarsa.
Pasal
82
1.
Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi
hapus,
kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan
kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu
oleh
aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.
2.
Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai
perampasan
harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran
pejabat
dalam ayat 1.
3.
Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap
berlaku
sekalipun
kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih
dahulu
telah hapus berdasarkan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini.
4.
Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa,
yang
pada
saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.
Pasal
83
Kewenangan
menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.
Pasal
84
1.
Kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluwarsa.
2.
Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun, mengenai
kejahatan
yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai
kejahatan-kejahatan
lainnya lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan
pidana,
ditambah sepertiga.
3.
Bagaimanapun juga, tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana
yang
dijatuhkan.
4.
Wewenang menjalankan pidana mati tidak daluwarsa.
Pasal
85
1.
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat
dijalankan.
2.
Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok
harinya
setelah
melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. Jika suatu pelepasan
bersyarat
dicabut, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang
daluwarsa
baru.
3.
Tenggang daluwarsa tertuduh selama penjalanan pidana ditunda menurut perintah
dalam
suatu
peraturan umum, dan juga selama terpidana dirampas kemerdekaannya, meskipun
perampasan
kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.
BAB IX
ARTI BEBERAPA ISTILAH YANG DIPAKAI
DALAM KITAB UNDANGUNDANG
Pasal
86
Apabila
disebut kejahatan, baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam arti
suatu
kejahatan
tertentu, maka di situ termasuk pembantuan dan percobaan melakukan kejahatan,
kecuali
jika dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan.
Pasal
87
Dikatakan
ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah
ternyata
dari
adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.
Pasal
88
Dikatakan
ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan
melakukan
kejahatan.
Pasal
88 bis
Dengan
penggulingan pemerintahan dimaksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah
bentuk
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal
89
Membuat
orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Pasal
90
Luka
berat berarti:
•
jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali,
atau
yang menimbulkan bahaya maut.
•
tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian.
•
kehilangan salah satu panca indera.
•
mendapat cacat berat.
•
menderita sakit lumpuh.
•
terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
•
gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Pasal
91
1.
Dalam kekuasaan bapak dicakup pula kekuasaan kepala keluarga.
2.
Dengan orang tua, dimaksud pula kepala keluarga.
3.
Dengan bapak, dimaksud pula orang yang menjalankan kekuasaan yang sama dengan
bapak.
4.
Dengan anak, dimaksud pula orang yang ada di bawah kekuasaan yang sama dengan
kekuasaan
bapak.
Pasal
92
1.
Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan
yang
diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena
pemilihan,
menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan,
atau
badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama
pemerintah;
begitu juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia
asli
dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah.
2.
Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim
termasuk
juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua
dan
anggota-anggota pengadilan agama.
3.
Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat.
Pasal
92 bis
Yang
disebut pengusaha ialah tiap-tiap orang yang menjalankan perusahaan.
Pasal
93
1.
Yang disebut nahkoda ialah orang yang memegang kekuasaan di kapal atau yang
mewakilinya.
2.
Yang disebut penumpang ialah semua orang yang ada di kapal, kecuali nahkoda.
3.
Yang disebut anak buah kapal ialah semua perwira atau kelasi yang ada di dalam
kapal.
Pasal
94
Pasal
ini ditiadakan berdasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1946, pasal VIII, butir 11.
Pasal
95
Yang
disebut kapal Indonesia ialah kapal yang mempunyai surat laut atau pas kapal,
atau surat
izin
sebagai pengganti sementara menurut aturan-aturan umum mengenai surat laut dan
pas
kapal
di Indonesia.
Pasal
95a
1.
Yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang
didaftarkan
di
Indonesia.
2.
Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa
tanpa
awak
pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.
Pasal
95b
Yang
dimaksud dengan dalam penerbangan adalah sejak saat pintu luar pesawat udara
ditutup
setelah
naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan
penumpang
(di embarkasi).
Dalam
hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai
saat
penguasa
yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang
ada
di dalamnya.
Pasal
95c
Yang
dimaksud dengan dalam dinas adalah jangka waktu sejak pesawat udara disiapkan
oleh
awak
darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu, hingga setelah 24 jam
lewat
sesudah
setiap pendaratan.
Pasal
96
1.
Yang disebut musuh termasuk juga pemberontak. Begitu juga termasuk di situ
negara
atau
kekuasaan yang akan menjadi lawan perang.
2.
Yang disebut perang termasuk juga permusuhan dengan daerah-daerah swapraja,
begitu
juga
perang saudara.
3.
Yang disebut masa perang termasuk juga waktu selama perang sedang mengancam.
Begitu
juga dikatakan masih ada masa perang, segera sesudah diperintahkan mobilisasi
Angkatan
Perang dan selama mobilisasi itu berlaku.
Pasal
97
Yang
disebut hari adalah waktu selama dua puluh empat jam; yang disebut bulan adalah
waktu
selama
tiga puluh hari.
Pasal
98
Yang
disebut waktu malam yaitu waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
Pasal
99
Yang
disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada,
tetapi
bukan
untuk masuk atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja
digali;
begitu
juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup.
Pasal
100
Yang
disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksud
untuk
membuka
kunci.
Pasal
101
Yang
disebut ternak yaitu semua binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak,
dan
babi.
Pasal
101 bis
1.
Yang dimaksud bangunan listrik yaitu bangunan-bangunan yang gunanya untuk
membangkitkan,
mengalirkan, mengubah, atau menyerahkan tenaga listrik; begitu pula
alat-alat
yang berhubungan dengan itu, yaitu alat-alat penjaga keselamatan, alat-alat
pemasang,
alat-alat pendukung, dan alat-alat peringatan.
2.
Dengan bangunan-bangunan telegrap dan telepon tidak dimaksudkan bangunan
listrik.
Pasal
102
Ditiadakan
dengan Staatsblad 1920 No. 382.
ATURAN
PENUTUP
Pasal
103
Ketentuan-ketentuan
dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatanperbuatan
yang
oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali
jika
oleh undang-undang ditentukan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar