Selasa, 09 April 2013

KUHP (Buku Kesatu)


KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

BUKU KESATU - ATURAN UMUM

Bab I - Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan.
Bab II - Pidana.
Bab III - Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana.
Bab IV - Percobaan.
Bab V - Penyertaan Dalam Tindak Pidana.
Bab VI - Perbarengan Tindak Pidana.
Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan
kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan.
Bab VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana.
Bab IX - Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang.
Aturan Penutup.

BAB I
BATAS-BATAS BERLAKUNYA ATURAN PIDANA DALAM PERUNDANGUNDANGAN

Pasal 1
(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada.
(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan,
maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Pasal 2
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan dengan Indonesia diterapkan bagi setiap orang
yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
Pasal 3
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara
Indonesia.
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan di luar Indonesia:
1. salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108,dan 131.
2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau
bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia.
3. pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas
tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon,
tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di
atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsui.
4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446
tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada
kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara
melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan penerbangan sipil.
Pasal 5
1 Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia ditetapkan bagi warga negara
yang di luar Indonesia melakukan:
1 salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160,
161, 240, 279, 450, dan 451.
2 salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundangundangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundangundangan
negara di mana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
2 Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika
tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Pasal 6
Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana
mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya
tidak diancamkan pidana mati.
Pasal 7
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di
luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab XXVIII
Buku Kedua.
Pasal 8
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan
penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan
salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX
Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di
Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.
Pasal 9
Diterapkannya pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui
dalam hukum internasional.

BAB II
PIDANA

Pasal 10
Pidana terdiri atas:
a pidana pokok:
1 pidana mati.
2 pidana penjara.
3 pidana kurungan.
4 pidana denda.
5 pidana tutupan.
b pidana tambahan:
1 pencabutan hak-hak tertentu.
2 perampasan barang-barang tertentu.
3 pengumuman putusan hakim.
Pasal 11
Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di
tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
Pasal 12
1. Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
2. Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas
tahun berturut-turut.
3. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturutturut
dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati,
pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana
penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal
batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan,
pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.
4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
Pasal 13
Para terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan.
Pasal 14
Terpidana yang dijatuhkan pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang
dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan pasal 29.
Pasal 14a
1. Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak
termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan
pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim
yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana
sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau
karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin
ditentukan lain dalam perintah itu.
2. Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang
mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi
harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin
diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini,
kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan
negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal
dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 a.2.
3. Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai
pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
4. Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan
bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa
terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya
ditetapkan.
5. Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi
alasan perintah itu.
Pasal 14b
1. Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506,
dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.
2. Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan
kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
3. Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.
Pasal 14c
1. Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain
menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim
dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim dapat
menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek
daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
2. Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan
atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka
boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang
harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
3. Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau
kemerdekaan berpolitik terpidana.
Pasal 14d
1. Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang
menyuruh menjalankan putusan, jika kemidian ada perintah untuk menjalankan putusan.
2. Jika ada alasan, hakim dapat perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk badan
hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah
penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi
pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
3. Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai
penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan
bantuan itu, diatur dengan undang-undang.
Pasal 14e
Atas usul pejabat dalam pasal ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus
perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus
dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang
diperintahkan semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh
memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang
paling lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.
Pasal 14f
1. Tanpa mengurangi ketentuan pasal di atas, maka atas usul pejabat tersebut dalam pasal
14d ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan
supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi
peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak
pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat
lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi
pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa
percobaan mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga
cara bagaimana memberikan peringatan itu.
2. Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan
lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan
tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan
pemidanaan yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah
pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya
dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.
Pasal 15
1. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan
pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut,
pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
2. Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
3. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani,
ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak
termasuk masa percobaan.
Pasal 15a
1. Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan
melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
2. Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana,
asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
3. Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam
pasal 14d ayat 1.
4. Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang sematamata
harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
5. Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan
syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan
khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
6. Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat
yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka
orang itu diberi surat pas baru.
Pasal 15b
1. Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal
yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat
dapat dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri
Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
2. Waktu selama terpidana dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak
termasuk waktu pidananya.
3. Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut
kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena
melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan
pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga
bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi
tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa
percobaan.
Pasal 16
1. Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau
setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat
keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu
pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
2. Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal
15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar
dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat
Dewan Reklasering Pusat.
3. Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat di mana dia
berada, orang yang dilepaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan
guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu
selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut
dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri
Kehakiman.
4. Waktu penahanan paling lama enam puluh hari. Jika penahanan disusul dengan
penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang
itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.
Pasal 17
Contoh surat pas dan peraturan pelaksanaan pasal-pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan undangundang.
Pasal 18
1. Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun.
2. Jika ada pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena
ketentuan pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan.
3. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.
Pasal 19
1. Orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang dibebankan
kepadanya, sesuai dengan aturan-aturan pelaksanaan pasal 29.
2. Ia diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada orang yang dijatuhi pidana penjara.
Pasal 20
1. Hakim yang menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama satu bulan,
boleh menetapkan bahwa jaksa dapat mengizinkan terpidana bergerak dengan bebas di
luar penjara sehabis waktu kerja.
2. Jika terpidana yang mendapat kebebasan itu mendapat kebebasan itu tidak datang pada
waktu dan tempat yang telah ditentukan untuk menjalani pekerjaan yang dibebankan
kepadanya, maka ia harus menjalani pidananya seperti biasa kecuali kalau tidak
datangnya itu bukan karena kehendak sendiri.
3. Ketentuan dalam ayat 1 tidak diterapkan kepada terpidana karena terpidana jika pada
waktu melakukan tindak pidana belum ada dua tahun sejak ia habis menjalani pidana
penjara atau pidana kurungan.
Pasal 21
Pidana kurungan harus dijalani dalam daerah di mana si terpidana berdiam ketika putusan
hakim dijalankan, atau jika tidak punya tempat kediaman, di dalam daerah di mana ia berada,
kecuali kalau Menteri Kehakiman atas permintaannya terpidana membolehkan menjalani
pidananya di daerah lain.
Pasal 22
1. Terpidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di suatu tempat yang
digunakan untuk menjalani pidana penjara, atau pidana kurungan, atau kedua-duanya,
segera sehabis pidana habis hilang kemerdekaan itu selesai, kalau diminta, boleh
menjalani kurungan di tempat itu juga.
2. Pidana kurungan karena sebab di atas dijalani di tempat yang khusus untuk menjalani
pidana penjara, tidak berubah sifatnya oleh karena itu.
Pasal 23
Orang yang dijatuhi pidana kurungan, dengan biaya sendiri boleh sekedar meringankan
nasibnya menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 24
Orang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan boleh diwajibkan bekerja di dalam
atau di luar tembok tempat orang-orang terpidana.
Pasal 25
Yang tidak boleh diserahi pekerjaan di luar tembok tempat tersebut ialah:
1. Orang-orang yang di jatuhi pidana penjara seumur hidup.
2. Para wanita.
3. Orang-orang yang menurut pemeriksaan dokter tidak boleh menjalankan pekerjaan
demikian.
Pasal 26
Jikalau mengingat keadaan diri atau masyarakat terpidana, hakim menimbang ada alasan, maka
dalam putusan ditentukan bahwa terpidana tidak boleh diwajibkan bekerja di luar tembok
tempat orang-orang terpidana.
Pasal 27
Lamanya pidana penjara untuk waktu tertentu dan pidana kurungan dalam putusan hakim
dinyatakan dengan hari, minggu, bulan, dan tahun; tidak boleh dengan pecahan.
Pasal 28
Pidana penjara dan pidana kurungan dapat dilaksanakan di satu tempat asal saja terpisah.
Pasal 29
1. Hal menunjuk tempat untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan, atau keduaduanya,
begitu juga hal mengatur dan mengurus tempat-tempat itu, hal membedakan
orang terpidana dalam golongan-golongan, hal mengatur pemberian pengajaran,
penyelenggaraan ibadat, hal tata tertib, hal tempat untuk tidur, hal makanan, dan
pakaian, semuanya itu diatur dengan undang-undang sesuai dengan kitab undangundang
sesuai dengan kitab undang-undang ini.
2. Jika perlu, Menteri Kehakiman menetapkan aturan rumah tangga untuk tempat-tempat
orang terpidana.
Pasal 30
1. Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
2. Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
3. Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam
bulan.
4. Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian; jika
pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari; jika
lebih dari lima rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di hitung
paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh
sen.
5. Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan,
atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan
bulan.
6. Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Pasal 31
1. Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu
pembayaran denda.
2. Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan
membayar dendanya.
3. Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani
pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
Pasal 32
1. Pidana penjara dan pidana kurungan mulai berlaku bagi terpidana yang sudah di dalam
tahanan sementara, pada hari ketika putusan hakim menjadi tetap, dan bagi terpidana
lainnya pada hari ketika putusan hakim mulai dijalankan.
2. Jika dalam putusan hakim dijatuhkan pidana penjara dan pidana kurungan atas beberapa
perbuatan pidana, dan kemudian putusan itu bagi kedua pidana tadi menjadi tetap pada
waktu yang sama, sedangkan terpidana sudah ada dalam tahanan sementara karena
kedua atau salah satu perbuatan pidana itu, maka pidana penjara mulai berlaku pada saat
ketika putusan hakim menjadi tetap, dan pidana kurungan mulai berlaku setelah pidana
penjara habis.
Pasal 33
1. Hakim dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu terpidana ada dalam tahanan
sementara sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau sebagian di potong dari
pidana penjara selama waktu tertentu dari pidana kurungan atau dari pidana denda yang
dijatuhkan kepadanya; dalam hal pidana denda dengan memakai ukuran menurut pasal
31 ayat 3.
2. Waktu selama seorang terdakwa dalam tahanan sementara yang tidak berdasarkan surat
perintah, tidak dipotong dari pidananya, kecuali jika pemotongan itu dinyatakan khusus
dalam putusan hakim.
3. Ketentuan pasal ini berlaku juga dalam hal terdakwa oleh sebab dituntut bareng karena
melakukan beberapa tindak pidana, kemudian dipidana karena perbuatan lain daripada
yang didakwakan kepadanya waktu ditahan sementara.
Pasal 33a
Jika orang yang ditahan sementara di jatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan
kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun,
waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan Presiden, tidak dihitung sebagai waktu
menjalani pidana, kecuali jika Presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan
bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Pasal 34
Jika terpidana selama menjalani pidana melarikan diri, maka waktu selama di luar tempat
menjalani pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Pasal 35
1 Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang
ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
1 hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu.
2 hak memasuki Angkatan Bersenjata.
3 hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum.
4 hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak
menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang
yang bukan anak sendiri.
5 hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas
anak sendiri.
6 hak menjalankan mata pencarian tertentu.
2 Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturanaturan
khusus di tentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
Pasal 36
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu dan hak memasuki Angkatan
Bersenjata, kecuali dalam hal yang diterangkan dalam Buku Kedua, dapat di cabut dalam hal
pemidanaan karena kejahatan jabatan atau kejahatan yang melanggar kewajiban khusus sesuatu
jabatan, atau karena memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan pada
terpidana karena jabatannya.
Pasal 37
1 Kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas,
baik atas anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut dalam hal pemidanaan:
1 orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan bersama-sama
dengan anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya.
2 orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa yang ada di bawah
kekuasaannya, melakukan kejahatan, yang tersebut dalam bab XIII, XIV, XV,
XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua.
2 Pencabutan tersebut dalam ayat 1 tidak boleh dilakukan oleh hakim pidana terhadap
orang-orang yang baginya diterapkan undang-undang hukum perdata tentang
pencabutan kekuasaan orang tua, kekuasaan wali dan kekuasaan pengampu.
Pasal 38
1 Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
1 dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan
seumur hidup.
2 dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya
pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari
pidana pokoknya.
3 dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling
banyak lima tahun.
2 Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan.
Pasal 39
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau
karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang
ditentukan dalam undang-undang.
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada
pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal 40
Jika seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut
barang-barang dengan melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagianbagian
Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan,
mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan
pidana perampasan atas barang-barang itu, juga dalam hal yang bersalah diserahkan kembali
kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun.
Pasal 41
1. Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumnya, diganti menjadi pidana
kurungan, apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran
dalam putusan hakim, tidak di bayar.
2. Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
3. Lamanya pidana kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai
berikut: tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari tujuh
rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu
hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
4. Pasal 31 diterapkan bagi pidana kurungan pengganti ini.
5. Jika barang-barang yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga di
hapus.
Pasal 42
Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala
pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.
Pasal 43
Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang
ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara
melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.

BAB III
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN, MENGURANGI ATAU MEMBERATKAN
PIDANA

Pasal 44
1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan.
3. Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.
Pasal 45
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu
perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya
yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana
apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan
pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta
belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu
pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana
kepada yang bersalah.
Pasal 46
1. Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia
dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari
pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang
tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan
atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan
pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain;
dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur
delapan belas tahun.
2. Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 47
1. Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak
pidananya dikurangi sepertiga.
2. Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3. Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.
Pasal 48
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
Pasal 49
1. Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada
saat itu yang melawan hukum.
2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan
jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 50
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak
dipidana.
Pasal 51
1. Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
2. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika
yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang
dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Pasal 52
Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban
khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan,
kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat
ditambah sepertiga.
Pasal 52a
Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik
Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga.

BAB IV
PERCOBAAN

Pasal 53

1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.

BAB V
PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA

Pasal 55
1 Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1 mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan.
2 mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau
dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan.
2 Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Pasal 57
1. Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi
sepertiga.
2. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
4. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang
sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 58
Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang
menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan
terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri.
Pasal 59
Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggotaanggota
badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus
atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Pasal 60
Membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Pasal 61
1. Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penertiban selaku demikian
tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya,
sedangkan pembuatnya dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur
pertama kali lalu diberitahukan kepada penerbit.
2. Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada saat barang cetakkan terbit, tidak dapat dituntut
atau sudah menetap di luar Indonesia.
Pasal 62
1. Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian
tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya,
sedangkan orang yang menyuruh mencetak dikenal, atau setelah dimulai penuntutan,
pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh pencetak.
2. Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetakkan
terbit, tidak dapat dituntut sudah menetap di luar Indonesia.

BAB VI
PERBARENGAN TINDAK PIDANA

Pasal 63
1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang
memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Pasal 64
1. Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang
diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2. Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah
melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu
atau yang dirusak itu.
3. Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal
364, 373, 379, dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang
ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia
dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, dan 406.
Pasal 65
1. Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan
yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan
pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
2. Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam
terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah
sepertiga.
Pasal 66
1. Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang
sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap
kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiga.
2. Pidana denda adalah hal itu dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan
pengganti yang ditentukan untuk perbuatan itu.
Pasal 67
Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh
dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan
hakim.
Pasal 68
1 Berdasarkan hal-hal dalam pasal 65 dan 66, tentang pidana tambahan berlaku aturan
sebagai berikut:
1 pidana-pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu, yang lamanya paling
sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun melebihi pidana pokok atau
pidana-pidana pokok yang dijatuhkan. Jika pidana pokok hanya pidana denda saja,
maka lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling lama lima
tahun.
2 pidana-pidana pencabutan hak yang berlainan dijatuhkan sendiri-sendiri tanpa
dikurangi.
3 pidana-pidana perampasan barang-barang tertentu, begitu pula halnya dengan
pidana kurungan pengganti karena barang-barang tidak diserahkan, dijatuhkan
sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
2 pidana kurungan-kurungan pengganti jumlahnya tidak boleh melebihi delapan bulan.
Pasal 69
1. Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan
dalam pasal 10.
2. Jika hakim memilih antara beberapa pidana pokok, maka dalam perbandingan hanya
terberatlah yang dipakai.
3. Perbandingan beratnya pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut
maksimumnya masing-masing.
4. Perbandingan lamanya pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut
maksimumnya masing-masing.
Pasal 70
1. Jika ada perbarengan seperti yang dimaksudkan dalam pasal 65 dan 66, baik perbarengan
pelanggaran dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk
tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
2. Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan dan pidana kurungan
pengganti paling banyak satu tahun empat bulan, sedangkan jumlah lamanya pidana
kurungan pengganti, paling banyak delapan bulan.
Pasal 70 bis
Ketika menerapkan pasal-pasal 65, 66, dan 70, kejahatan-kejahatan berdasarkan pasal-pasal
302 ayat 1, 352, 364, 373,379, dan 482 dianggap sebagai pelanggaran, dengan pengertian jika
dijatuhkan pidana-pidana penjara atas kejahatan-kejahatan itu, jumlah paling banyak delapan
bulan.
Pasal 71
Jika seseorang telah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan
kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu
diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam
bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama.

BAB VII
MENGAJUKAN DAN MENARIK KEMBALI PENGADUAN DALAM HAL
KEJAHATAN-KEJAHATAN YANG HANYA DITUNTUT ATAS PENGADUAN

Pasal 72
1. Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dan
orang itu umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia
berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka
wakilnya yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu.
2. Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan
dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang
menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya
atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, atas pengaduan
seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.
Pasal 73
Jika yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal
berikut maka tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang
tuanya, anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup kecuali kalau ternyata bahwa yang
meninggal tidak menghendaki penuntutan.
Pasal 74
1. Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam
waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
2. Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang waktu tersebut dalam
ayat 1 belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya selama
sisa yang masih kurang pada tenggang waktu tersebut.
Pasal 75
Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah
pengaduan diajukan.

BAB VIII
HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN
PIDANA

Pasal 76
1 Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim
pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan
tersebut.
2 Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan
karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
1 putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum.
2 putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun
atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
Pasal 77
Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.
Pasal 78
1 Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
1 mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan
sesudah satu tahun.
2 mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau
pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun.
3 mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun,
sesudah dua belas tahun.
4 mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, sesudah delapan belas tahun.
2 Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun,
masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 79
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam halhal
berikut:
1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari
sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
2. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai pada
hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal
dunia.
3. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai
pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut
aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus
dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, dipindah ke kantor tersebut.
Pasal 80
1. Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh
orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan
dalam aturan-aturan umum.
2. Sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.
Pasal 81
Penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan prayudisial, menunda
daluwarsa.
Pasal 82
1. Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi
hapus, kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu
oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.
2. Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai
perampasan harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran
pejabat dalam ayat 1.
3. Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku
sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih
dahulu telah hapus berdasarkan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini.
4. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang
pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.
Pasal 83
Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.
Pasal 84
1. Kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluwarsa.
2. Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun, mengenai
kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai
kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan
pidana, ditambah sepertiga.
3. Bagaimanapun juga, tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang
dijatuhkan.
4. Wewenang menjalankan pidana mati tidak daluwarsa.
Pasal 85
1. Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat
dijalankan.
2. Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok harinya
setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. Jika suatu pelepasan
bersyarat dicabut, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang
daluwarsa baru.
3. Tenggang daluwarsa tertuduh selama penjalanan pidana ditunda menurut perintah dalam
suatu peraturan umum, dan juga selama terpidana dirampas kemerdekaannya, meskipun
perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.

BAB IX
ARTI BEBERAPA ISTILAH YANG DIPAKAI DALAM KITAB UNDANGUNDANG

Pasal 86
Apabila disebut kejahatan, baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam arti suatu
kejahatan tertentu, maka di situ termasuk pembantuan dan percobaan melakukan kejahatan,
kecuali jika dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan.
Pasal 87
Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.
Pasal 88
Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan
kejahatan.
Pasal 88 bis
Dengan penggulingan pemerintahan dimaksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah
bentuk pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 89
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Pasal 90
Luka berat berarti:
• jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut.
• tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.
• kehilangan salah satu panca indera.
• mendapat cacat berat.
• menderita sakit lumpuh.
• terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
• gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Pasal 91
1. Dalam kekuasaan bapak dicakup pula kekuasaan kepala keluarga.
2. Dengan orang tua, dimaksud pula kepala keluarga.
3. Dengan bapak, dimaksud pula orang yang menjalankan kekuasaan yang sama dengan
bapak.
4. Dengan anak, dimaksud pula orang yang ada di bawah kekuasaan yang sama dengan
kekuasaan bapak.
Pasal 92
1. Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena
pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan,
atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama
pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia
asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah.
2. Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim
termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua
dan anggota-anggota pengadilan agama.
3. Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat.
Pasal 92 bis
Yang disebut pengusaha ialah tiap-tiap orang yang menjalankan perusahaan.
Pasal 93
1. Yang disebut nahkoda ialah orang yang memegang kekuasaan di kapal atau yang
mewakilinya.
2. Yang disebut penumpang ialah semua orang yang ada di kapal, kecuali nahkoda.
3. Yang disebut anak buah kapal ialah semua perwira atau kelasi yang ada di dalam kapal.
Pasal 94
Pasal ini ditiadakan berdasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1946, pasal VIII, butir 11.
Pasal 95
Yang disebut kapal Indonesia ialah kapal yang mempunyai surat laut atau pas kapal, atau surat
izin sebagai pengganti sementara menurut aturan-aturan umum mengenai surat laut dan pas
kapal di Indonesia.
Pasal 95a
1. Yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan
di Indonesia.
2. Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa
awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.
Pasal 95b
Yang dimaksud dengan dalam penerbangan adalah sejak saat pintu luar pesawat udara ditutup
setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan
penumpang (di embarkasi).
Dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat
penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang
ada di dalamnya.
Pasal 95c
Yang dimaksud dengan dalam dinas adalah jangka waktu sejak pesawat udara disiapkan oleh
awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu, hingga setelah 24 jam lewat
sesudah setiap pendaratan.
Pasal 96
1. Yang disebut musuh termasuk juga pemberontak. Begitu juga termasuk di situ negara
atau kekuasaan yang akan menjadi lawan perang.
2. Yang disebut perang termasuk juga permusuhan dengan daerah-daerah swapraja, begitu
juga perang saudara.
3. Yang disebut masa perang termasuk juga waktu selama perang sedang mengancam.
Begitu juga dikatakan masih ada masa perang, segera sesudah diperintahkan mobilisasi
Angkatan Perang dan selama mobilisasi itu berlaku.
Pasal 97
Yang disebut hari adalah waktu selama dua puluh empat jam; yang disebut bulan adalah waktu
selama tiga puluh hari.
Pasal 98
Yang disebut waktu malam yaitu waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
Pasal 99
Yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada, tetapi
bukan untuk masuk atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali;
begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup.
Pasal 100
Yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksud untuk
membuka kunci.
Pasal 101
Yang disebut ternak yaitu semua binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak, dan
babi.
Pasal 101 bis
1. Yang dimaksud bangunan listrik yaitu bangunan-bangunan yang gunanya untuk
membangkitkan, mengalirkan, mengubah, atau menyerahkan tenaga listrik; begitu pula
alat-alat yang berhubungan dengan itu, yaitu alat-alat penjaga keselamatan, alat-alat
pemasang, alat-alat pendukung, dan alat-alat peringatan.
2. Dengan bangunan-bangunan telegrap dan telepon tidak dimaksudkan bangunan listrik.
Pasal 102
Ditiadakan dengan Staatsblad 1920 No. 382.
ATURAN PENUTUP
Pasal 103
Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatanperbuatan
yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali
jika oleh undang-undang ditentukan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Arham Kadir
Copyright © 2011. HUKUM INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Lopi Toa
Proudly powered by Blogger