SEJARAH DAN POLITIK HUKUM KUHP
Dalam memahami sebuah
produk hukum tentunya kita harus juga melihat latar balakang dan politik hukum
apa yang sedang dibangun ketika hukum tersebut dibuat.
Seperti halnya
Indonesia sekarang, ketika penjajahan Perancis berakhir pada tahun 1813,
Belanda masih mempertahankan Code Napoleon sampai akhirnya mereka mampu
menyusun WvS pada (Weetbook Van Stafreecht) pada tahun 1881 yang
kemudian kita beri nama KUHP. Rancangan WvS ini selesai pada tahun 1875 oleh
panitia yang dipersiapkan khusus untuk merancangnya sebagaimana penyusunan KUHP
baru kita sekarang, panitia ini dibentuk pada tahun 1870 dan mereka hanya
membutuhkan waktu selama 5 tahun untuk membuat sebuah WvS, sangat kontras
dengan kita yang tak kunjung menyelesaikan KUHP baru. Kemudian pada tahun 1915
WvS tersebut digunakan untuk rakyat Indonesia dengan nama WvSNI yang
disesuaikan dengan Indoenesia dan berisi misi kolonial. Nampaknya Belanda
mengikuti politik Perancis yang menerapkan Code Penal ketika
menjajah suatu bangsa dengan menggunakan kodifikasi hukum di Negara asalnya
kemudian diubah sedemikian rupa demi memuluskan program kolonialisasi.
Dan WvSNI ini kemudian
kita warisi dari kolonial ketika kita, sebagai negara yang baru merdeka, tidak
mempunyai peraturan pidana sendiri. Akhirnya dengan pasal II aturan peralihan
UUD 1945 dan dipertegas dengan UU No. 1 th 1946 WvSNI menjadi KUHP. Namun
situasi ini nampaknya tidak berlangsung lama, karena ketika agresi militer,
pada tanggal 22 september 1945 Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang
berjudul Tidjelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (ketentuan-ketentuan
yang luat biasa mengenai hukum pidana) dengan Staaatblad No 135 th 1945 yang
mulai berlaku pada tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan hukum baru dari Belanda
tersebut tentu saja untuk kepentingan kolonialisasi kembali, seperti
diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketata
Negaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah, berlakunya pasal-pasal
tertentu dalam KUHP, serta “pembekuan” asas legalitas agar kejahatan-kejahatan
yang telah diperbuat dapat dipidanakan.
Setelah diundangkanya
UU No 1 th 1946 yang menyatakan pemberlakuan KUHP tersebut dengan tujuan untuk
unifikasi hukum pidana, ternyata tidak bersifat mutlak bagi seluruh daerah
Indonesia. KUHP hanya berlaku untuk wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda yang
otomatis menjadi NKRI, untuk wilayah seperti Indonesia Timur, Sumatera Timur,
Irian Barat tidak menggunakan KUHP. Sebagaimana yang
tertera dalam pasal XVII:
Undang-undang ini mulai
berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkanya dan baut daerah lain
pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden
Setelah pihak Indonesia
dan Belanda bertemu dalam KMB di Den Haag yang menyepakati seluruh wilayah
Indonesia bekas jajahan Hindia Belanda dikembalikan kepada NKRI, lahir UU No 73
th 1958 yang merevisi UU No 1 th 1946 khusunya tentang pasal XVII dan membuat
unifikasi hukum pidana tercapai.
Sebagai produk, KUHP
adalah hukum yang dibuat oleh mereka yang tidak hidup dan tidak berjiwa
Indonesia, budaya Belanda dan Indonesia jelas berbeda, hal ini terlihat dengan
jelas dalam delik perzinahan. Hukum tidak dapat ditransfer dari satu tempat ke
tempat lainnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Robert B Seidman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar