Sabtu, 06 April 2013

SEJARAH DAN POLITIK HUKUM KUHP


SEJARAH DAN POLITIK HUKUM KUHP

Dalam memahami sebuah produk hukum tentunya kita harus juga melihat latar balakang dan politik hukum apa yang sedang dibangun ketika hukum tersebut dibuat.
Seperti halnya Indonesia sekarang, ketika penjajahan Perancis berakhir pada tahun 1813, Belanda masih mempertahankan Code Napoleon sampai akhirnya mereka mampu menyusun WvS pada (Weetbook Van Stafreecht) pada tahun 1881 yang kemudian kita beri nama KUHP. Rancangan WvS ini selesai pada tahun 1875 oleh panitia yang dipersiapkan khusus untuk merancangnya sebagaimana penyusunan KUHP baru kita sekarang, panitia ini dibentuk pada tahun 1870 dan mereka hanya membutuhkan waktu selama 5 tahun untuk membuat sebuah WvS, sangat kontras dengan kita yang tak kunjung menyelesaikan KUHP baru. Kemudian pada tahun 1915 WvS tersebut digunakan untuk rakyat Indonesia dengan nama WvSNI  yang disesuaikan dengan Indoenesia dan berisi misi kolonial. Nampaknya Belanda mengikuti politik Perancis yang menerapkan Code Penal ketika menjajah suatu bangsa dengan menggunakan kodifikasi hukum di Negara asalnya kemudian diubah sedemikian rupa demi memuluskan program kolonialisasi.
Dan WvSNI ini kemudian kita warisi dari kolonial ketika kita, sebagai negara yang baru merdeka, tidak mempunyai peraturan pidana sendiri. Akhirnya dengan pasal II aturan peralihan UUD 1945 dan dipertegas dengan UU No. 1 th 1946 WvSNI menjadi KUHP. Namun situasi ini nampaknya tidak berlangsung lama, karena ketika agresi militer, pada tanggal 22 september 1945 Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tidjelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (ketentuan-ketentuan yang luat biasa mengenai hukum pidana) dengan Staaatblad No 135 th 1945 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan hukum baru dari Belanda tersebut tentu saja untuk kepentingan kolonialisasi kembali, seperti diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketata Negaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah, berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta “pembekuan” asas legalitas agar kejahatan-kejahatan yang telah diperbuat dapat dipidanakan.
Setelah diundangkanya UU No 1 th 1946 yang menyatakan pemberlakuan KUHP tersebut dengan tujuan untuk unifikasi hukum pidana, ternyata tidak bersifat mutlak bagi seluruh daerah Indonesia. KUHP hanya berlaku untuk wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda yang otomatis menjadi NKRI, untuk wilayah seperti Indonesia Timur, Sumatera Timur, Irian Barat tidak menggunakan KUHP. Sebagaimana yang tertera dalam pasal XVII:
Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkanya dan baut daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden
Setelah pihak Indonesia dan Belanda bertemu dalam KMB di Den Haag yang menyepakati seluruh wilayah Indonesia bekas jajahan Hindia Belanda dikembalikan kepada NKRI, lahir UU No 73 th 1958 yang merevisi UU No 1 th 1946 khusunya tentang pasal XVII dan membuat unifikasi hukum pidana tercapai.
Sebagai produk, KUHP adalah hukum yang dibuat oleh mereka yang tidak hidup dan tidak berjiwa Indonesia, budaya Belanda dan Indonesia jelas berbeda, hal ini terlihat dengan jelas dalam delik perzinahan. Hukum tidak dapat ditransfer dari satu tempat ke tempat lainnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Robert B Seidman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Arham Kadir
Copyright © 2011. HUKUM INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Lopi Toa
Proudly powered by Blogger