Jumat, 05 April 2013

Hukum Laut


SEJARAH ALIRAN HUKUM LAUT
Pada abad ke-17 telah lahir dua ajaran (doktrin) di bidang hukum laut internasional, yaitu ajaran Mare Liberium, yang menegaskan bahwa laut tidak bisa dimiliki oleh siapa pun; dan Mare Clausum, yang menyatakan bahwa laut dapat dimiliki. Pendapat pertama dianut Belanda, dan yang kedua, antara lain, dianut Inggris, Spanyol, dan Portugal. Kedua ajaran ini pada hakikatnya sama dengan teori res nullius (mare clausum), dan res communis (mare liberium).
 Kedua ajaran ini timbul akibat dari pertentangan Belanda atas penguasaan laut di dunia oleh Portugal dan Spanyol, serta tuntutan Inggris atas kawasan Mare Anglicanum. Pertentangan antara Negara-negara ini terutama antara Belanda dan Inggris menimbulkan the Battle of books (perang buku).perang buku ini berlangsung kurang lebih 50 tahun dan berakhir dengan terjadinya perang antara Inggris dan Belanda pada tahun 1665. Perang buku ini umumnya berkisar pada dua teori tersebut.

1. Mare Liberum
Sebenarnya, sebelum terbit dan dikembangkannya ajaran Mare Liberum dalam tahun 1609 oleh Grotius, ajran ini telah dianut oleh Negara-negara lain. Selama abad ke-16 Ratu Inggris, Elizabeth menganut teori ini. Francoise Alfonso Castro dalam bukunya De Potestate Legis Poenalis, Vasculus Menchaca (1509-1569) di Portugal dalam bukunya Controverslae Illustris, Alberto Gentilldi Italia dalam bukunya de Jure Belli menganut teori ini.
Di antara penulis penganut teori ini yang paling terkenal adalah Hugo de Groot, yang menulis pandangannya mengenai kebebasan laut dalam bukunya Mare Liberum yang terbit tahun 1608 tersebut. Sesuai ajarannya tentang mare liberum, Grotius berpendapat laut tak dapat dimiliki oleh negara. Pendapat ini sejalan dengan konsepsinya mengenai pemilikan (ownership). Menurutnya, ownership (termasuk laut) hanya dapat terjadi melalui possession, dan possession hanya bisa terjadi melalui pemberian atau melalui occupation. Occupation atas barang-barang bergerak dapat terjadi melalui hubungan fisik atas barang tersebut, sedangkan occupation atas benda tidak bergerak dapat terjadi dengan membangun sesuatu di atasnya (“by power of standing and sitting). Karena itu pemilikan hanya dapat terjadi atas barang-barang yang dapat dipegang teguh. Dan untuk dapat dipegang diteguh benda-benda tersebut harus ada batasnya. Laut adalah sesuatu yang tidak berbatas, karena itu tidak dapat diokupasi. Selain itu laut itu cair, dan sesuatu yang cair hanya dapat dimiliki dengan memasukkan ke tempat yang lebi padat (peraliud). Dengan demikian, tuntutan pemilikan laut berdasarkan penemuan (discovery), penguasaan dalam jangka waktu lama (prescription) ataupun servitude tak dapat diterima karena semua itu bukan alas an untuk memperoleh ownership atas laut. Meskipun demikian, Grotius mengakui bahwa anak laut, inner sea, dan sungai sekalipun cair dapat dimiliki karena ada batasnya, yaitu tepinya dapat dianggap sebagai per allud.

2. Mare Clausum
Ajaran Grotius mengenai mare liberum sebagaimana disebutkan di atas mendapat tantangan dari berbagai penulis sejamannya. Mereka antara lain Gentilis, William Welwood, John Borough, Paulo Sarol, dan John Shelden. Tantangan atas ajaran Grotius mencegah kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-bagian tertentu dari laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori mare liberium hanya dalam satu hal, yaitu kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di laut.
Yang terpenting dari para penentang Grotius adalah John Sheldon. Penentangnya ini dikemukakan dalam bukunya “Mare Clausum: the Right and Dominion In the Sea (1636). Menurut Sheldon, okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa Negara-negara telah menjalankan kekuasaan mereka atas lautan, dan karena itu melalui prescription itu dapat dimiliki. Karenanya laut itu bukan mare liberium tetapi mare clausum. Sifatnya yang cair tak menyebabkan laut tak dapt dimiliki, karena sungai dan perairan di sepanjang pantai yang cair diakui dapat dimiliki.

3. Jalan Tengah
Kenyataan membuktikan bahwa dalam berbagai bidang pertentangan pendapat kerap melahirkan pendapat ketiga yang bersifat ecletic yang mencari jalan tengah dengan menggabungkan sisi-sisi positif dari teori-teori yang saling bertentangan itu.
Dalam kaitannya dengan dapat tidaknya laut dimiliki ternyata, kedua teori tersebut tak dapat mempertahankan ajarannya dengan kaku dan konsekuen. Grotius misalnya, dalam De Jure Bell ac Pacis (1625) menyatakan bahwa laut di sepanjang pantai dapat dimilki sejauh dapat dikuasai dari darat. Demikian pula Shelden. Selain mengakui hak Inggris atas Mare Anglicanum juda mengakui adanya hak lintas damai (innocent pessage) di laut-laut yang dituntut itu.
Dengan demikian, maka pada masa itu telah diakui ada bagian laut yang dapat dimiliki, yaitu bagian laut yang sekarang disebut laut wilayah dan jalur-jalur laut lainnya seperti jalur perikanan; dan laut yang tak dapat dimiliki oleh siapapun (laut bebas). Dalam abad ke 18 semua penulias, mengadakan pembedaan laut atas kawasan laut (maritime belt) yang dianggap berada di bawah kekuasaan negara-negara pesisir (the litoral state), dan laut bebas (open sea) yang tidak berada di bawah kekuasaan negara lain. Pontanus seorang ahli hukum Belanda, menyebut laut-laut yang dapat dimiliki mare audience, dan laut yang tidak bisa dimiliki mare alterium.
Persoalannya adalah berapa jarak laut yang dapat dimiliki. Ini baru dapat dipecahkan pada tahun 1702 ketika seorang ahli hukum Belanda, Binkhersoek, mengemukakan teoricanon shot rule. Menurutnya, laut wilayah suatu negara adalah sampai jarak tembakan meriam dari pantai. Tampaknya ajaran ini pertama-tama dilandasi dari pengawasan nyata dari pelabuhan atau perbentengan terhadap kawasan laut yang berdeatan dengan pantainya.
Ajaran ini dikemukakan di bukunya De Dominio Maris Disertasio. namun ajarannya ini belum secara pasti menentukan berapa mil jarak laut yang dapt dimiliki oleh negara. Untuk itu para penulis waktu itu berupaya mendapatkan patokan yang sama dengan atau pengganti dari jarak berdasarkan jangkauan meriam tersebut. Dan, seorang penulis Italia, Gallani (1872) mengusulkan batas 3 mil atau 1 league Italia sebagai pengganti dari jarak jangkauan meriam tersebut. Batas ini diakui oleh Amerika Serikat dalam Notanya kepada Inggris dan Perancis. Pada 8 Nopember 1873, dalam kaitannya dengan netralitas, dan selama dan setelah perang Napoleon, prize court (pengadilan penyitaan kapal) Inggris dan Amerika Serikat menerjemahkan the canon shoot rule, ke dalam 3 mil laut, atau tiga kali 1852 meter.
Sementara itu sepanjang abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 sebagai akibat dari pelayaran negar-negara lain (selain Portugal, Spanyol dan Belanda = pen) perjuangan kebebasan di laut semakin berat, dan pada akhir kwartal pertama abad ke-19 kebebasan di laut bebas itu diakui secara semesta. Inggris sendiri yang semula menjadi penentang konsep laut bebas mengurangi tuntutan kedaulatan maritimnya, dan  menjadi pemimpin baru kebebasan di laut bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Arham Kadir
Copyright © 2011. HUKUM INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Lopi Toa
Proudly powered by Blogger